Senin, 06 Juni 2011

BUNGA BANK

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam hal hutang piutang, paling tidak ada dua hal yang dapat kita sepakati dan kita yakini kebenaran hukumnya, yang hingga kini belum ditemukan perbedaan pendapat dari para ulama’ fikih.
Bagi orang yang berhutang tidak dilarang, dan bahkan di sunnahkan membayar hutangnya lebih baik dari hutang yang dimiliki. Artinya, ia boleh memberikan lebih dari jumlah hutang, atau bentuk yang lebih baik, baik secara fisik atau sifatnya. Namun semua ini tidak terjadi pada saat melaksanakan perjanjian yang terjadi dalam akad.
Dengan demikian, bagi pemberi hutang diperbolehkan menerima kelebihan tersebut tanpa hukum makruh, dan kelebihan tersebut bisa langsung dimiliki tanpa perlu adanya akad (ijab dan qabul).
Memberikan lebih dari jumlah hutang, baik dalam hitungan atau kualitas, yang dilaksanakan atas dasar perjanjian yang diucapkan (disepakati) dalam akad hukumnya adalah haram. Baik bagi pemberi hutang atau yang menerimanya, bahkan hukum haram ini juga berlaku bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya secara langsung.
Tarik-menarik antara halal dan haram inilah yang melatar belakangi perbedaan pendapat antar ulama’. Dan gambaran ini pula yang terjadi pada bunga bank, sehingga tidak mengherankan apabila terjadi perbedaan pendapat di antara ulama’-ulama’ fikih.
Maka dari itu kita tidak bisa mutlak menyalahkan orang lain dan merasa benar secara mutlak, dengan demikian perbedaan pendapat tetap , dan apapun yang kita lakukan dengan memperkuat salah satunya hanyalah memberi tambahan pertimbangan untuk hal yang kita pilih. Tanpa menvonis kehalalan atau keharamannya.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Bunga Bank (Riba)

Riba (asury atau interest) yang berasal dari bahasa arab artinya tambahan (ziyadah), yang berarti tambahan pembelajaran atas uang pokok pinjaman. Dan dalam hal ini para ulama’ fikih terjadi perbedaan pendapat menurut sifat penetapan haramnya.
Menurut golongan Hanafi, adalah setiap kelebihan tanpa adanya imbalan atau takaran dan timbangan yang dilakukan antara pembeli dan penjual di dalam tukar-menukar. Misalnya menukar dirham dengan berat yang tidak sama, hal ini diperbolehkan karena dipandang hibah. Jadi menurut mereka menetapkan kelebihan penukaran itu sebagai Riba bila barangnya sejenis.
Sedangkan menurut golongan Syafi’i, Riba ialah  transaksi dengan imbalan tertentu yang tidak diketahui kesamaan takarannya maupun ukurannya waktu dilakukan transaksi atau dengan penundaan waktu penyerahan kedua barang yang dipertukarkan atau salah satunya.
Kesamaan takaran atau ukuran yang di maksud disini adalah pada benda sejenis, seperti emas dengan emas. Menurut golongan Syafi’i sebab larangan ini berlaku pada barang makanan, sekalipun barang tersebut pengukurannya menggunakan takaran atau timbangan dan dilakukan secara tunai.
Menurut golongan Maliki, definisi ini hampir sama dengan pendapat dari golongan Syafi’i, hanya berbeda dengan ilatnya. Menurut mereka ilatnya ialah pada transaksi.
Dan menurut golongan Hanbali, Riba menurut sara’ adalah tambahan yang diberikan pada barang tertentu atau ditimbang dengan jumlah yang bereda. Tindakan semacam inilah yang dinamakan Riba selama dilakukan dengan tidak kontan.[1])
Sedangkan menurut Al-Jurjani Riba adalah kelebihan pembayaran tanpa ada ganti atau imbalan, yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad (transaksi).[2])   
B.     Bank Konvensonal dan Bank Islam
Melihat definisi-definisi Riba yang terjadi perbedaan di kalangan para ulama’ fikih yang disebutkan di atas, maka dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, umat islam sangat sulit untuk menghindari bermuamalah dengan bank konvensional yang memakai sistem sistem bunga dalam segala aspek kehidupannya, termasuk kehidupan agamanya. Misalnya, haji di Indonesia umat islam harus memakai jasa bank apalagi kehidupan ekonomi tidak bisa lepas dari jasa bank, sebab tanpa jasa bank, perekonomian Indonesia tidak selancar dan semaju sekarang ini. Jadi mau tidak mau, kita sebagai umat Islam juga butuh pada jasa bank dengan bunganya yang kontroversial itu.
Bank konvensional adalah sebuah lembaga keuangan yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada orang yang memerlukan dana, baik perorangan atau badan guna investasi dalam usaha-usaha yang produktif dan lain-lain dengan sistem bunga.
Sedangkan tandingannya, yakni bank Islam (bank Syari’ah) adalah sebuah lembaga keuangan yang menjalankan operasinya menurut hukum syari’at Islam.[3])
Pada umumnya masyarakat sering kali menggunakan jasa bunga bank antara hutang atau pinjam (qord) uang dengan menggunakan jaminan dan melunasinya dengan cara mencicil setiap bulan, yang pastinya pihak bank  menuntut bunga dari pinjaman tersebut. Begitu juga dalam masalah menabung (wadiah) atau setiap uang pada bank, oleh pihak bank uang tersebut digunakan untuk meminjamkannya pada orang-orang yang menbutuhkan dana. Dan pastinya bank menuntut bunga bagi peminjam. Sedangkan orang yang menaruh uang di bank (Nasabah) uangnya semakin bertambah, semua itu dilakukan oleh bank konvensional.
Sistem bank konvensional tidak ada pada masa Rasul, bahkan tidak  di temukan di jaman klasik maupun pertengahan. Menurut informasi sementara, bank konvensional pertamakali didirikan pada tahun 1157 M. Di Itali.kemudian sistem ini berkembang pada seperempat terakhir dari abad XIX dan mulai masuk ke negeri-negeri Islam pada akhir abad XIX. Oleh karena tidak ditemukan di jaman Rasul, maka tidak ditemukan pula nash yang jelas mengenai hukum bunga bank konvensional. Bahkan dalam literatur klasik dan jaman pertengahan pun tidak ditemukan.
Sebagai pedoman hidup sepanjang jaman, Islam harus mempunyai sikap terhadap bunga bank. Suatu hal perlu diingat, bahwa dalil dalil hukum dalam Islam itu tidak hanya Al-Qur’an Dan Hadits saja, ada Ijma’, Qiyas (analogi), mashlahah mursalah, istihsan, istishab, uruf, syar’uman qablana, dan pendapat para sahabat nabi. Lebih dari pada itu, dalam menetapkan hukum, Islam memiliki sejumlah kaedah yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus yang timbul dalam masyarakat. Dalam menerapkan dalil dan kaedah ini para ulama’ menggunakan ijtihad mereka yang kadang-kadang berakhir dengan perbedaan pendapat.[4]) maka sejumlah ulama’ telah telah lama memandang bunga bank sama dengan Riba.
Adapun dampak dari praktek Riba itu antara lain:
1.      Menyebabkan eksploitasi (pemerasan) oleh orang kaya terhadap orang miskin.
2.      Uang modal besar yang dikuasai oleh the haves tidak disalurkan ke dalam usaha-usaha yang produktif. Misalnya pertanian, perkebunan, industri, dan sebagainya yang dapat menciptakan lapangan kerja, yang bermanfaat bagi masyarakat banyak dan juga bagi pemilik modal itu sendiri, tetapi modal besar itu justru disalurkan dalam perkreditan berbunga yang belum produktif. Keuntungan semata-mata diambilkan dari bunga pinjaman  masyarakat yang membutuhkan dana, bahkan dalam hal ini kedudukan peminjam adalah sebagai orang yang dirugikan.
3.      Bisa menyebabkan kebangkrutan usaha dan pada gilirannya bisa mengakibatkan keretakan rumah tangga, jika si peminjam tidak mampu mengembalikan pinjaman beserta bunganya.[5])
4.      Bunga dapat menciptakan kondisi manusia penganggur, yaitu para penanam modal dapat menerima setumpukan kekayaan dari bunga-bunga modalnya sehingga mereka tidak bekerja untuk menutupi kebutuhannya. Cara seperti ini berbahaya bagi masyarakat juga bagi pribadi orang-orang tersebut.[6])
Sedang dalam bank Islam yang operasionalnya menggunakan hukum syari’at Islam, menggunakan pengganti sistem bunga dengan berbagai cara yang bersih dari unsur Riba, antara lain:
1.    Wadi’ah (titipan uang, barang, dan surat-surat berharga). Lembaga fikih Islam wadi’ah ini, bila diterapkan oleh bank Islam dalam operasinya menghimpun dana dari masyarakat, dengan cara menerima deposito berupa uang, barang, dan surat-surat berharga sebagai amanat yang wajib dijaga keselamatannya. Dan bank berhak menggunakan dana yang di depositokan itu tanpa harus membayar imbalannya (bunga), tetapi bank harus menjamin bisa mengembalikan dana itu pada waktu pemiliknya memerlukan.
2.    Murabahah (jual beli barang dengan tambahan harga atas dasar harga pembelian yang pertama secara jujur). Dengan murabahaa ini , pada hakikatnya orang ingin merubah bisnisnya dari pinjam-meminjam menjadi jual-beli. Dengan sistem  murabahah bank bisa menyediakan barang yang diperlukan pengusaha untuk dijual lagi, dan bank minta tambahan harga atas harga pembeliannya.
3.    Mudharabah (kerjasama antara pemilik modal dengan pelaksana atas dasar perjanjian). Dengan mudharabah bank Islam dapat memberikan tambahan modal kepada pengusaha dengan perjanjian bagi hasil dan rugi sesuai perbandingannya dengan perjanjian.
4.    Qardh Hasan (pinjaman yang baik). Dimana bank Islam dapat memberikan pinjaman tanpa bunga kepada para nasabah yang baik. Terutama nasabah yang punya deposito di bank Islam. Itu sebagai salah satu service dan penghargaan bank kepada para deposito.[7])
Berbeda dengan apa yang ditawarkan oleh sistem bank konvensional, sistem bank Islam (syariat), dengan instrumen provitnya, yaitu sistem bagi hasil. Sangat bertolak belakang dengan kapitalis yang lebih bersifat individual, sosialis yang memberikan hampir semua tanggung jawab kepada warganya serta komunis yang ekstrim, ekonomi Islam menetapkan bentuk perdagangan serta perkhidmatan yang boleh dan tidak boleh di transaksikan. Ekonomi dalam Islam harus mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, memberikan rasa adil, kebersamaan dan kekeluargaan serta mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha.
C.    Hukum-Hukum Bunga Bank
Dalam praktek operasional bank konvensional yang ada pastilah terdapat sistem bunga, maka para ulama’ dalam menghukumi bunga bank terjadi perbedaan pendapat’
Menurut Abu Zahrah, guru besar pada fakultas hukum Universitas Cairo, Abul A’la al-Maududi (Pakistan), Muhammad Abdullah al-A’robi, penasehat hukum pada Islamic Congres Cairo, dan lain-lain yang menyatakan bahwa bunga bank itu Riba Nasi’ah yang dilarang oleh Islam, karena itu umat Islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai sistem bunga.
Sedangkan menurut A. Hasan, pendiri dan pemimpin pesantren Bagil (Persis) yang menerangkan bahwa bunga bank seperti di negara kita ini bukan Riba yang di haramkan, karena bersifat ganda sebagaimana yang dinyatakan dalam surat Ali-Imron, ayat 130:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ 
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130).[8])

Dan menurut Musthafa Ahmad al-Zarqa’, guru besar hukum Islam dan hukum perdata Universitas Syiria, bahwa sistem perbankan yang kita terima sekarang ini, sebagai realitas yang tidak dapat kita hindari. Karena itu umat Islam boleh bermuamalah dengan bank konvensional itu atas pertimbangan dalam keadaan darurat, dan bersifat sementara.[9])
Di dalam kitab Al-Mughni, ibnu Qudaimah mengatakan: “Riba diharamkan berdasarkan kitab, sunnah, dan ijma’”. Adapun kitab, pengharamannya di dasarkan pada firman Allah SWT: “Wa harrama al-riba”. (Al-Baqarah: 275) dan ayat-ayat berikutnya. Sedangkan sunnah: telah diriwayatkan dari Nabi SAW. Bahwasannya beliau bersabda :”jauhilah oleh kalian tujuh masalah yang membinasakan, menyekutukan Allah, sihir membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan haq, memakan Riba, memakan harta anak yatim, lari dari peperangan, menuduh wanita mukmin yang baik-baik berbuat zina”, juga di dasarkan pada riwayat, bahwa Nabi SAW. Telah melaknat orang yang memakan Riba, wakil, saksi, dan penulisnya.” (HR. Imam Bukhari dan Muslim)....dan umat Islam telah berkonsus tentang keharaman Riba.”
Imam al-Syiraaziy di antara kitab al-Muhadzab, menyatakan: Riba merupakan yang diharamkan. Keharamannya didasarkan pada firman Allah SWT :

....وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا...
“....padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba....”(QS. Al-Baqarah: 275).[10])
 Dan juga firman-Nya:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي ....يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسّ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.....”(QS. Al-Baqarah: 275)[11])
Imam al-Shar’aniy di dalam Subul al-Salam mengatakan, “seluruh umat Islam telah bersepakat atas haramnya Riba secara global”.
Di dalam kitab I’anatu al-Thalibin disebutkan, “Riba termasuk dosa besar, bahkan termasuk sebesar-besarnya dosa besar (min akbar al-kabair). pasalnya Rasulullah SAW. Telah melaknat orang yang memakan Riba, wakil, saksi, dan penulisnya.
Selain itu, Allah SWT. Dan Rasulullah SAW. Telah memaklumkan perang terhadap pelaku Riba, di dalam kitab al-Nihayah dituturkan bahwasannya dosa Riba itu lebih besar dari pada dosa zina, mencuri, dan minum khamr. Imam Syarbiniy di dalam kitab al-Iqna’ juga menyatakan hal yang sama Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukari menyatakan kaum muslimin sepakat bahwa Riba termasuk dosa besar.[12])
Dan ada yang berpendapat tentang hukum bunga bank konvensional sebagai berikut:
1.      Menyamakan antara bunga bank dengan Riba secara mutlak, sehingga hukumnya haram, pendapat ini dengan berbagai vareasi:
a.    Bunga bank itu dengan segala jenisnya sama dengan Riba, sehingga hukumnya haram. Di mana setiap perubahan atau penambahan disebut riba nasyiah dan riba nasyiah diharamkan oleh agama.
b.    Bunga itu sama dengan Riba dan hukumnya haram, akan tetapi boleh diambil (dipungut), sementara belum beroperasi sistem perbankan yang Islami (tanpa bunga).
c.    Bunga itu sama dengan Riba, hukumnya haram akan tetapi beleh dipungut sebab adanya kebutuhan yang kuat (hajah ruj’iyah).  
2.      Tidak menyamakan bunga bank dengan Riba, sehingga hukumnya boleh, pendapat ini juga terdapat beberapa vareasi:
a.    Bunga konsumtif sama dengan Riba, hukumnya haram, sedangkan bunga produktif tidak sama dengan Riba, jadi hukumnya halal.
b.    Bunga yang diperoleh dari tabungan giro tidak sama dengan Riba, hukumnya halal.
c.    Bunga yang diterima dari deposito yang ditaruh di bank, hukumnya boleh.
d.   Bunga bank tidak haram, kalau bank itu menetapkan tarif bunganya terlebih dahulu secara umum.[13])

3.      Berpendapat bahwa hukum bunga bank adalah subhat (tidak identik dengan haram)
Di sini adalah Ulama Muhammadiyah dalam Mu’tamar Tarjih di Sidoarjo Jawa Timur pada tahun 1968 memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya dan sebaliknya termasuk masalah musytabihat. Masalah musytabihat adalah perkara yang belum ditemukan kejelasan hukum halal atau haramnya, sebab mengandung unsur-unsur yang mungkin dapat disimpulkan sebagai perkara yang haram. Namun, ditinjau dari lain, ada pula unsur-unsur lain yang meringankan keharamannya.[14])
 Pertimbangan besar kecilnya bunga dan segi penggunaannya dirasakan agak meringankan sifat larangan riba yang unsur utamanya adalah pemerasan dari orang-orang kaya terhadap orang-orang miskin, meskipun bunga bank dianggap musytabihat tidak berarti umat Islam diberikan kebebasan untuk mengembangkan bunga. Nabi Saw. Memerintahkan umat Islam hati-hati terhadap perkara subhat dengan cara mejauhinya.[15])














BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Melalui keterangan di atas, bahwa para fuqoha’ terjadi perbedaan pendapat, ada yang menghukumi haram, halal (boleh) dan ada juga yang menghukumi subhat, kita bisa mengambil kesimpulan yang terbaik adalah bersikap hati-hati (ikhtiyat), yaitu tidak bermuamalah yang berbau Riba karena banyak ulama’ yang mengharamkan hal tersebut.
َالْخُرُُوْجُ مِنَ اْلخِلاَفِ مُسْتَحَبٌّق
“menghindar dari perselisihan ulama’ adalah sunnah”
Akan tetapi untuk fatwa kepada masyarakat, sebaiknya kita ambil langkah yang mungkin. Karena zaman modern sekarang ini sangat sulit menghindarkan diri dari berhubungan dengan bank. Dan bank yang saat ini ada di Indonesia mayoritas adalah bank konvensional.                                 Maka kelompok kami berpendapat HUKUM BUNGA BANK BOLEH, dengan ketentuan atas pertimbangan dharurat dan bersifat sementara, sebab umat Islam harus berusaha mencari jalan keluar dengan mendirikan bank tanpa sistem bunga, demi menyelamatkan umat Islam dari cengkraman bank konvensional dengan bunganya.






DAFTAR PUSTAKA

________________________________________
[1]) Abu Sara’i Abdul Hadi, Bunga Bank Dalam Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), 24-25.
[2]) Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997), 102. 
[3]) Ibid, 109.
[4]) http://ram/law.wordpress.com/Hukum Bunga Bank Dalam Pandangan Islam
[5]) Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah Tasysri’ wa falsafatuh, (Bairut: Dar-al-Fikr, 1997), j: 2,91.
[6]) http://www.tipskom.co.cc/2009/08/Pendapat Ulama’ Tentang Bunga Bank.
[7]) Masail al-Fiqhiyah,109-110.
[8]) Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit J-ART, 2004), 67.
[9]) Masail al-Fiqhiyah, 112-113.
[10]) Departemen Agama RI, 48.
[11]) Ibid.
[12]) http//anak cirerai,bligspot.com
[13]) Abdul Aziz Masyhuri, Ahkamul Fuqaha, (Surabaya: Dinamika press, t.t.), 368.
[14]) http://www.tipskom.co.cc/2009/08.
[15]) Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar