Minggu, 13 Mei 2012

KHAMAR DAN NARKOTIK


2.1.19 Khamar (Arak)
KHAMAR adalah bahan yang mengandung alkohol yang memabukkan.
Untuk lebih jelasnya, di sini akan kami sebutkan beberapa bahaya khamar terhadap pribadi seseorang, baik akalnya, tubuhnya, agamanya dan dunianya. Akan kami jelaskan juga betapa bahayanya terhadap rumahtangga ditinjau dari segi pemeliharaannya maupun pengurusannya terhadap isteri dan anak-anak. Dan akan kami bentangkan juga betapa mengancamnya arak terhadap masyarakat dan bangsa dalam existensinya, baik yang berupa moral maupun etika.
Sungguh benar apa yang dikatakan oleh salah seorang penyelidik, bahwa tidak ada bahaya yang lebih parah yang diderita manusia, selain bahaya arak. Kalau diadakan penyelidikan secara teliti di rumah-rumah sakit, bahwa kebanyakan orang yang gila dan mendapat gangguan saraf adalah disebabkan arak. Dan kebanyakan orang yang bunuh diri ataupun yang membunuh kawannya adalah disebabkan arak. Termasuk juga kebanyakan orang yang mengadukan dirinya karena diliputi oleh suasana kegelisahan, orang yang membawa dirinya kepada lembah kebangkrutan dan menghabiskan hak miliknya, adalah disebabkan oleh arak.
Begitulah, kalau terus diadakan suatu penelitian yang cermat, niscaya akan mencapai batas klimaks yang sangat mengerikan yang kita jumpai, bahwa nasehat-nasehat, kecil sekali artinya.
Orang-orang Arab dalam masa kejahilannya selalu disilaukan untuk minum khamar dan menjadi pencandu arak. Ini dapat dibuktikan dalam bahasa mereka yang tidak kurang dari 100 hama dibuatnya untuk mensifati khamar itu. Dalam syair-syairnya mereka puji khamar itu, termasuk sloki-slokinya, pertemuan-pertemuannya dan sebagainya.
Setelah Islam datang, dibuatnyalah rencana pendidikan yang sangat bijaksana sekali, yaitu dengan bertahap khamar itu dilarang. Pertama kali yang dilakukan, yaitu dengan melarang mereka untuk mengerjakan sembahyang dalam keadaan mabuk, kemudian meningkatkan dengan diterangkan bahayanya sekalipun manfaatnya juga ada, dan terakhir baru Allah turunkan ayat secara menyeluruh dan tegas, yaitu sebagaimana firmanNya:
"Hai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya arak, judi, berhala, dan undian adalah kotor dari perbuatan syaitan. Oleh karena itu jauhilah dia supaya kamu bahagia. Syaitan hanya bermaksud untuk mendatangkan permusuhan dan kebencian di antara kamu disebabkan khamar dan judi, serta menghalangi kamu ingat kepada Allah dan sembahyang. Apakah kamu tidak mau berhenti?" (al-Maidah: 90-91)
Dalam kedua ayat tersebut Allah mempertegas diharamkannya arak dan judi yang diiringi pula dengan menyebut berhala dan undian dengan dinilainya sebagai perbuatan najis (kotor). Kata-kata His (kotor, najis) ini tidak pernah dipakai dalam al-Quran, kecuali terhadap hal yang memang sangat kotor dan jelek.
Khamar dan judi adalah berasal dari perbuatan syaitan, sedang syaitan hanya gemar berbuat yang tidak baik dan mungkar. Justru itulah al-Quran menyerukan kepada umat Islam untuk menjauhi kedua perbuatan itu sebagai jalan untuk menuju kepada kebagiaan.
Selanjutnya al-Quran menjelaskan juga tentang bahaya arak dan judi dalam masyarakat, yang di antaranya dapat mematahkan orang untuk mengerjakan sembahyang dan menimbulkan permusuhan dan kebencian. Sedang bahayanya dalam jiwa, yaitu dapat menghalang untuk menunaikan kewajiban-kewajiban agama, diantaranya ialah zikrullah dan sembahyang.
Terakhir al-Quran menyerukan supaya kita berhenti dari minum arak dan bermain judi. Seruannya diungkapkan dengan kata-kata yang tajam sekali, yaitu dengan kata-kata: fahal antum muntahun? (apakah kamu tidak mau berhenti?).
Jawab seorang mu'min terhadap seruan ini: "Ya, kami telah berhenti, ya Allah!"
Orang-orang mu'min membuat suatu keanehan sesudah turunnya ayat tersebut, yaitu ada seorang laki-laki yang sedang membawa sloki penuh arak, sebagiannya telah diminum, tinggal sebagian lagi yang sisa. Setelah ayat tersebut sampai kepadanya, gelas tersebut dilepaskan dan araknya dituang ke tanah.
Banyak sekali negara-negara yang mengakui bahaya arak ini, baik terhadap pribadi, rumah tangga ataupun tanah air. Sementara ada yang berusaha untuk memberantasnya dengan menggunakan kekuatan undang-undang dan kekuasaan, seperti Amerika, tetapi akhirnya mereka gagal. Tidak dapat seperti yang pernah dicapai oleh Islam di dalam memberantas dan menghilangkan arak ini.
Dari kalangan kepala-kepala gereja bertentangan dalam menilai bagaimana pandangan Kristen terhadap masalah arak, justru karena di Injil ditegaskan: "Bahwa arak yang sedikit itu baik buat perut."
Kalau omongan itu betul, niscaya yang sedikit itu perlu dihentikan, sebab minum arak sedikit, dapat membawa kepada banyak. Gelas pertama akan disambut dengan gelas kedua dan begitulah seterusnya sehingga akhirnya menjadi terbiasa.
2.1.19.1 Setiap Yang Memabukkan Berarti Arak
Pertama kali yang dicanangkan Nabi Muhammad s.a.w. tentang masalah arak, yaitu beliau tidak memandangnya dari segi bahan yang dipakai untuk membuat arak itu, tetapi beliau memandang dari segi pengaruh yang ditimbulkan, yaitu memabukkan. Oleh karena itu bahan apapun yang nyatanyata memabukkan berarti dia itu arak, betapapun merek dan nama yang dipergunakan oleh manusia; dan bahan apapun yang dipakai. Oleh sebab itu Beer dan sebagainya dapat dihukumi haram.
Rasulullah s.a.w. pernah ditanya tentang minuman yang terbuat dari madu, atau dari gandum dan sya'ir yang diperas sehingga menjadi keras. Nabi Muhammad sesuai dengan sifatnya berbicara pendek tetapi padat, maka didalam menjawab pertanyaan tersebut beliau sampaikan dengan kalimat yang pendek juga, tetapi padat:
"Semua yang memabukkan berarti arak, dan setiap arak adalah haram." (Riwayat Muslim)
Dan Umar pun mengumumkan pula dari atas mimbar Nabi, "Bahwa yang dinamakan arak ialah apa-apa yang dapat menutupi fikiran." (Riwayat Bukhari dan Muslim).
2.1.19.2 Minum Sedikit
Untuk kesekian kalinya Islam tetap bersikap tegas terhadap masalah arak. Tidak lagi dipandang kadar minumannya, sedikit atau banyak. Kiranya arak telah cukup dapat menggelincirkan kaki manusia. Oleh karena itu sedikitpun tidak boleh disentuh.
Justru itu pula Rasulullah s.a.w. pernah menegaskan:
"Minuman apapun kalau banyaknya itu memabukkan, maka sedikitnya pun adalah haram." (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Tarmizi)
"Minuman apapun kalau sebanyak furq6 itu memabukkan, maka sepenuh tapak tangan adalah haram." (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Tarmizi)
2.1.19.3 Memperdagangkan Arak
Rasulullah tidak menganggap sudah cukup dengan mengharamkan minum arak, sedikit ataupun banyak, bahkan memperdagangkan pun tetap diharamkan, sekalipun dengan orang di luar Islam. Oleh karena itu tidak halal hukumnya seorang Islam mengimport arak, atau memproduser arak, atau membuka warung arak, atau bekerja di tempat penjualan arak.
Dalam hal ini Rasulullah s.a.w. pernah melaknatnya, yaitu seperti tersebut dalam riwayat di bawah ini:
"Rasulullah s.a.w. melaknat tentang arak, sepuluh golongan: (1) yang memerasnya, (2) yang minta diperaskannya, (3) yang meminumnya, (4) yang membawanya, (5) yang minta dihantarinya, (6) yang menuangkannya, (7) yang menjualnya, (8) yang makan harganya, (9) yang membelinya, (10) yang minta dibelikannya." (Riwayat Tarmizi dan Ibnu Majah)
Setelah ayat al-Quran surah al-Maidah (90-91) itu turun, Rasulullah s.a.w. kemudian bersabda:
"Sesungguhnya Allah telah mengharamkan arak, maka barangsiapa yang telah mengetahui ayat ini dan dia masih mempunyai arak walaupun sedikit, jangan minum dan jangan menjualnya." (Riwayat Muslim)
Rawi hadis tersebut menjelaskan, bahwa para sahabat kemudian mencegat orang-orang yang masih menyimpan arak di jalan-jalan Madinah lantas dituangnya ke tanah.
Sebagai cara untuk membendung jalan yang akan membawa kepada perbuatan yang haram (saddud dzara'ik), maka seorang muslim dilarang menjual anggur kepada orang yang sudah diketahui, bahwa anggur itu akan dibuat arak. Karena dalam salah satu hadis dikatakan:
"Barangsiapa menahan anggurnya pada musim-musim memetiknya, kemudian dijual kepada seorang Yahudi atau Nasrani atau kepada tukang membuat arak, maka sungguh jelas dia akan masuk neraka." (Riwayat Thabarani)
2.1.19.4 Seorang Muslim Tidak Boleh Menghadiahkan Arak
Kalau menjual dan memakan harga arak itu diharamkan bagi seorang muslim, maka menghadiahkannya walaupun tanpa ganti, kepada seorang Yahudi, Nasrani atau yang lain, tetap haram juga.
Seorang muslim tidak boleh menghadiahkan atau menerima hadiah arak. Sebab seorang muslim adalah baik, dia tidak boleh menerima kecuali yang baik pula.
Diriwayatkan, ada seorang laki-laki yang memberi hadiah satu guci arak kepada Nabi s.a.w., kemudian Nabi memberitahu bahwa arak telah diharamkan Allah. Orang laki-laki itu bertanya:
Rajul: Bolehkah saya jual?
Nabi: Zat yang mengharamkan meminumnya, mengharamkannya juga menjualnya.
Rajul: Bagaimana kalau saya hadiahkan raja kepada orang Yahudi?
Nabi: Sesungguhnya Allah yang telah mengharamkan arak, mengharamkan juga untuk dihadiahkan kepada orang Yahudi.
Rajul: Habis, apa yang harus saya perbuat?
Nabi: Tuang saja di selokan air. (Al-Humaidi dalam musnadnya)
2.1.19.5 Tinggalkan Tempat Persidangan Arak
Berdasar sunnah Nabi, orang Islam diharuskan meninggalkan tempat persidangan arak, termasuk juga berduduk-duduk dengan orang yang sedang minum arak.
Diriwayatkan dari Umar r.a. bahwa dia pernah mendengar Rasulullah s,a.w. bersabda:
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah duduk pada suatu hidangan yang padanya diedarkan arak." (Riwayat Ahmad)
Setiap muslim diperintah untuk menghentikan kemungkaran kalau menyaksikannya. Tetapi kalau tidak mampu dia harus menyingkir dan menjaga masyarakat dan keluarganya.
Dalam salah satu kisah diceriterakan, bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah mendera orang-orang yang minum arak dan yang ikut menyaksikan persidangan mereka itu, sekalipun orang yang menyaksikan itu tidak turut minum bersama mereka.
Dan diriwayatkan pula, bahwa pernah ada suatu kaum yang diadukan kepadanya karena minum arak, kemudian beliau memerintahkan agar semuanya didera. Lantas ada orang yang berkata: 'Bahwa di antara mereka itu ada yang berpuasa.' Maka jawab Umar: 'Dera dulu dia!'
Apakah kamu tidak mendengarkan firman Allah yang mengatakan;
"Sungguh Allah telah menurunkan kepadamu dalam al-Ouran, bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah ditentangnya dan diejeknya. Oleh karena itu jangan kamu duduk bersama mereka, sehingga mereka itu tenggelam dalam omongan lain, sebab sesungguhnya kamu kalau demikian keadaannya adalah sama dengan mereka." (an-Nisa': 140)
2.1.19.6 Khamar Adalah Penyakit Bukan Obat
Dengan nas-nas yang jelas, maka Islam dengan gigih memberantas arak dan menjauhkan umat Islam dari arak, serta dibuatnya suatu pagar antara umat Islam dan arak itu. Tidak ada satupun pintu yang terbuka, betapapun sempitnya pintu itu, buat meraihnya.
Tidak seorang Islam pun yang diperkenankan minum arak walaupun hanya sedikit. Tidak juga diperkenankan untuk menjual, membeli, menghadiahkan ataupun membuatnya. Disamping itu tidak pula diperkenankan menyimpan di tokonya atau di rumahnya. Termasuk juga dilarang menghidangkan arak dalam perayaan-perayaan, baik kepada orang Islam ataupun kepada orang lain. Juga dilarang mencampurkan arak pada makanan ataupun minuman.
Tinggal ada satu segi yang sering oleh sementara orang ditanyakan, yaitu tentang arak dipakai untuk berobat Dalam hal ini Rasulullah s.a.w. pernah menjawab kepada orang yang bertanya tentang hukum arak. Lantas Nabi menjawab: Dilarang! Kata laki-laki itu kemudian: "Innama nashna'uha liddawa' (kami hanya pakai untuk berobat).
Maka jawab Nabi selanjutnya:
"Arak itu bukan obat, tetapi penyakit." (Riwayat Muslim, Ahmad, Abu Daud dan Tarmizi)
Dan sabdanya pula:
Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan untuk kamu bahwa tiap penyakit ada obatnya, oleh karena itu berobatlah, tetapi jangan berobat dengan yang haram." (Riwayat Abu Daud)
Dan Ibnu Mas'ud pernah juga mengatakan perihal minuman yang memabukkan: "Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhanmu dengan sesuatu yang Ia haramkan atas kamu." (Riwayat Bukhari).
Memang tidak mengherankan kalau Islam melarang berobat dengan arak dan benda-benda lain yang diharamkannya, sebab diharamkannya sesuatu, sesuai dengan analisa Ibnul Qayim, mengharuskan untuk dijauhi selamanya dengan jalan apapun. Maka kalau arak itu boleh dipakai untuk berobat, berarti ada suatu anjuran supaya mencintai dan menggunakan arak itu. Ini jelas berlawanan dengan apa yang dimaksud oleh syara'.
Selanjutnya kata Ibnul Qayim: Membolehkan berobat dengan arak, lebih-lebih bagi jiwa yang ada kecenderungan terhadap arak, akan cukup menarik orang untuk meminumnya demi memenuhi selera dan untuk bersenang-senang, terutama orang yang mengerti akan manfaatnya arak dan dianggapnya dapat menghilangkan sakitnya, maka pasti dia akan menggunakan arak guna kesembuhan penyakitnya itu.
Sebenarnya obat-obat yang haram itu tidak lebih hanya kira-kira saja dapat menyembuhkan.
Ibnul Qayim memperingatkan juga yang ditinjau dari segi kejiwaan, ia mengatakan: "Bahwa syaratnya sembuh dari penyakit haruslah berobat yang dapat diterima akal, dan yakin akan manfaatnya obat itu serta adanya barakah kesembuhan yang dibuatnya oleh Allah. Sedang dalam hal ini telah dimaklumi, bahwa setiap muslim sudah berkeyakinan akan haramnya arak, yang karena keyakinannya ini dapat mencegah orang Islam untuk mempercayai kemanfaatan dan barakahnya arak itu, dan tidak bisa jadi seorang muslim dengan keyakinannya semacam itu untuk berhusnundz-dzan (beranggapan baik) terhadap arak dan dianggapnya sebagai obat yang dapat diterima akal. Bahkan makin tingginya iman seseorang, makin besar pula kebenciannya terhadap arak dan makin tidak baik keyakinannya terhadap arak itu. Sebab kepribadian seorang muslim harus membenci arak. Kalau demikian halnya, arak adalah penyakit, bukan obat."10
Walaupun demikian, kalau sampai terjadi keadaan darurat, maka darurat itu dalam pandangan syariat Islam ada hukumnya tersendiri.
Oleh karena itu, kalau seandainya arak atau obat yang dicampur dengan arak itu dapat dinyatakan sebagai obat untuk sesuatu penyakit yang sangat mengancam kehidupan manusia, dimana tidak ada obat lainnya kecuali arak, dan saya sendiri percaya hal itu tidak akan terjadi, dan setelah mendapat pengesahan dari dokter muslim yang mahir dalam ilmu kedokteran dan mempunyai jiwa semangat (ghirah) terhadap agama, maka dalam keadaan demikian berdasar kaidah agama yang selalu membuat kemudahan dan menghilangkan beban yang berat, maka berobat dengan arak tidaklah dilarang, dengan syarat dalam batas seminimal mungkin.
Sesuai dengan firman Allah:
"Barangsiapa terpaksa dengan tidak sengaja dan tidak melewati batas maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih." (al-An'am: 145)
2.1.20 Narkotik
Al-KHAMRU maa khaamaral aqla (arak ialah semua bahan yang dapat menutupi akal), suatu ungkapan yang pernah dikatakan oleh Umar Ibnul-Khattab dari atas mimbar Rasulullah s.a.w. Kalimat ini memberikan pengertian yang tajam sekali tentang apa yang dimaksud arak itu. Sehingga dengan demikian tidak banyak lagi pertanyaan-pertanyaan dan kesamaran.
Demikianlah, maka setiap yang dapat mengganggu fikiran dan mengeluarkan akal dari tabiatnya yang sebenarnya, adalah disebut arak yang dengan tegas telah diharamkan Allah dan Rasul sampai hari kiamat nanti.
Dari itu pula, semua bahan yang kini dikenal dengan nama narkotik, seperti ganja, marijuana dan sebagainya yang sudah terkenal pengaruhnya terhadap perasaan dan akal fikiran, sehingga yang jauh menjadi dekat dan yang dekat menjadi jauh, dapat melupakan suatu kenyataan, dapat mengkhayal yang tidak akan terjadi dan orang bisa tenggelam dalam mimpi dan lamunan yang bukan-bukan. Orang yang minum bahan ini dapat melupakan dirinya, agamanya dan dunianya serta tenggelam dalam lembah khayal.
Ini, belum lagi apa yang akan terjadi pada tubuh manusia, bahwa narkotik dapat melumpuhkan anggota tubuh manusia dan menurunkan kesehatan.
Lebih dari itu, narkotik dapat mengganggu kemurnian jiwa, dan menghancurkan moral, meruntuhkan iradah dan melemahkan perasaan untuk melaksanakan kewajiban yang oleh pecandu-pecandu dijadikan sebagai alat untuk meracuni tubuh masyarakat.
Dibalik itu semua, narkotik dapat menghabiskan uang dan merobohkan rumahtangga. Uang yang dipakai untuk membeli bahan tersebut adalah standard rumahtangga yang mungkin juga oleh pecandu-pecandu narkotik akan diambilnya dari harta standard hidup anak-anaknya; dan mungkin juga dia akan berbelok ke suatu jalan yang tidak baik justru untuk mengambil keuntungan dari penjualan narkotik.
Kalau di atas telah kita sebutkan bahwa perbuatan haram itu dapat membawa kepada keburukan dan bahaya, maka bagi kita sudah cukup jelas tentang haramnya bahan yang amat jelek ini, yang tidak diragukan lagi bahayanya terhadap kesehatan, jiwa, moral, masyarakat dan perekonomian.
Haramnya narkotik ini telah disepakati oleh ahli-ahli fiqih yang pada zamannya dikenal dengan nama alkhabaits (yang jelek-jelek).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam tinjauannya, mengatakan: "Ganja (hasyisy) adalah bahan yang haram, baik orang yang merasakan itu mabuk ataupun tidak ... Hasyisy ini selalu dipakai oleh orang-orang jahat, karena di dalamnya mengandung unsur-unsur yang memabukkan dan menyenangkan. Biasanya dicampur dengan minuman-minuman yang memabukkan.
Bedanya hasyisy dengan arak, bahwa arak dapat menimbulkan suatu reaksi dan pertentangan. Tetapi hasyisy dapat menimbulkan suatu krisis dan kelemahan. Justru itu dia dapat merusak fikiran dan membuka pintu syahwat serta hilangnya perasaan semangat (ghirah). Justru itu dia lebih berbahaya daripada minuman keras.
Ini sudah pernah terjadi di kalangan orang-orang Tartar.
Dan bagi yang merasakannya, sedikit ataupun banyak didera 80 atau 40 kali.
Barangsiapa yang dengan terang-terangan merasakan hasyisy ini dia akan ditempatkan sebagaimana halnya orang yang terang-terangan minum arak, dan dalam beberapa hal lebih buruk daripada arak. Untuk itu dia akan dikenakan hukuman sebagaimana hukuman yang berlaku bagi peminum arak."
Kata Ibnu Taimiyah selanjutnya: "Menurut kaidah syara', semua barang haram yang dapat mengganggu jiwa seperti arak, zina dan sebagainya dikenakan hukum had (hukuman tindak kriminal), sedang yang tidak mengganggu jiwa seperti makan bangkai dikenakan tindakan ta'zir.11 Sedang hasyisy termasuk bahan yang barangsiapa merasakannya berat untuk mau berhenti. Hukum haramnya telah ditegaskan dalam al-Quran dan Sunnah terhadap orang yang merasakannya sebagaimana makan makanan lainnya."12
2.1.20.1 Setiap yang Berbahaya Dimakan atau Diminum, Tetap Haram
Di sini ada suatu kaidah yang menyeluruh dan telah diakuinya dalam syariat Islam, yaitu bahwa setiap muslim tidak diperkenankan makan atau minum sesuatu yang dapat membunuh, lambat ataupun cepat, misalnya racun dengan segala macamnya; atau sesuatu yang membahayakan termasuk makan atau minum yang terlalu banyak yang menyebabkan sakit. Sebab seorang muslim itu bukan menjadi milik dirinya sendiri, tetapi dia adalah milik agama dan umatnya. Hidupnya, kesehatannya, hartanya dan seluruh nikmat yang diberikan Allah kepadanya adalah sebagai barang titipan (amanat). Oleh karena itu dia tidak boleh meneledorkan amanat itu.
Firman Allah:
"Janganlah kamu membunuh diri-diri kamu, karena sesungguhnya Allah Maha Belas-kasih kepadamu." (an-Nisa': 29)
"Jangan kamu mencampakkan diri-diri kamu kepada kebinasaan." (al-Baqarah: 195)
Dan Rasulullah s.a.w. pun bersabda:
"Tidak boleh membuat bahaya dan membalas bahaya." (Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah)
Sesuai dengan kaidah ini, maka kami berpendapat: sesungguhnya rokok (tembakau) selama hal itu dinyatakan membahayakan, maka menghisap rokok hukumnya adalah haram. Lebih-lebih kalau dokter spesialis sudah menetapkan hal tersebut kepada seseorang tertentu.
Kalaupun toh ditakdirkan tidak jelas bahayanya terhadap kesehatan seseorang, tetapi yang jelas adalah membuang-buang uang untuk sesuatu yang tidak bermanfaat, baik untuk agama ataupun untuk urusan dunia. Sedang dalam hadisnya dengan tegas Rasulullah s.a.w. melarang membuang-buang harta.
Larangan ini dapat diperkuat lagi, kalau ternyata harta tersebut amat dibutuhkan untuk dirinya sendiri, atau keluarganya.

JUAL BELI


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………...i
DAFTAR ISI……………….…………………………………………….……ii

BAB I.  JUAL BELI…………………………………….……………..
  1. Pengertian Jual Beli……………………………………………...
  2. Landasan atau Dasar Hukum Jual Beli………………………...

BAB II. SYARAT DAN RUKUN  JUAL BELI……….…………….
  1. Orang yang Melaksanakan Akad Jual Beli..........................
  2. Sigat atau Ucapan Ijab dan Kabul..........................................
  3. Barang yang Diperjual-belikan.................................................
  4. Nilai tukar barang yang dijual.................................................

BAB III. HAL-HAL YANG DALAM TERLARANG JUAL BELI.……
  1. Terlarang Sebab Ahliah (Ahli Akad).......................................
  2. Terlarang Sebab Shigat............................................................
  3. Terlarang Sebab Ma’qud Alaih (Barang jualan).....................
  4. Terlarang Sebab Syara’.............................................................

BAB IV. KHIYAR.................................................................................
  1. Pengertian Khiyar.....................................................................
  2. Macam-macam khiyar..............................................................

BAB V. JUAL BELI AS-SALAM...........................................................
  1. Pengertian Jual beli As-Salam……………………………………
  2. Syarat Sah Transaksi model Salam……………………………..

BAB VI.  PENUTUP...............................................................................
  1. Kesimpulan…………………………………………..…………….... Daftar Pustaka………………………………………………...………..iii



BAB I
JUAL BELI


A.    Pengertian
Menurut etimologi, jual beli adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain). Kata lain dari jual beli adalah al-ba’i, asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijarah.
Menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain :
Ø  Menurut ulama Hanafiyah: [1])
Jual beli adalah ”pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan).”
Ø  Menurut Imam Nawawi[2]) dalam Al-Majmu’ :
Jual beli adalah ”pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.”
Ø  Menurut Ibnu Qudamah[3]) dalam kitab Al-mugni ‘ :
Jual beli adalah ”pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik.”

Pengertian lainnya Jual beli ialah persetujuan saling mengikat antara penjual (yakni pihak yang menyerahkan/menjual barang) dan pembeli (sebagai pihak yang membayar/membeli barang yang dijual). Pada masa Rasullallah SAW harga barang itu dibayar dengan mata uang yang terbuat dari emas (dinar) dan mata uang yang terbuat dari perak (dirham).





B.    Landasan atau Dasar Hukum Jual Beli
Landasan atau dasar hukum mengenai jual beli ini di syariatkan berdasarkan Al-Qur’an, Hadist Nabi, dan Ijma’ Yakni :
1.    Al Qur’an, yang mana Allah Swt berfirman dalam surat Al-Baqarah, 2: 198 :

2.    Sunnah Nabi, yang mengatakan:
Suatu ketika Nabi SAW, ditanya tentang mata pencarian yang paling baik. Beliau menjawab, ’Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual-beli yang mabrur.” (HR. Bajjar, Hakim yang menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rafi’)
Maksud mabrur dalam hadist di atas adalah jual-beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu dan merugikan orang lain.

3.    Ijma’
Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.

Mengacu kepada ayat-ayat  Al Qur’an dan hadist, hukum jual beli adalah mubah (boleh). Namun pada situasi tertentu, hukum jual beli itu bisa berubah menjadi sunnah, wajib, haram, dan makruh.

Berikut ini adalah contoh bagaimana hukum jual beli bisa berubah menjadi sunnah, wajib, haram, atau makruh. Jual beli hukumnya sunnah, misalnya dalam jual beli barang yang hukum menggunakan barang yang diperjual-belikan itu sunnah seperti minyak wangi.

Jual beli hukumnya wajib, misalnya jika ada suatu ketika para pedagang menimbun beras, sehingga stok beras sedikit dan mengakibatkan harganya pun melambung tinggi. Maka pemerintah boleh memaksa para pedagang beras untuk menjual beras yang ditimbunnya dengan harga sebelum terjadi pelonjakan harga. Menurut Islam, para pedagang beras tersebut wajib menjual beras yang ditimbun sesuai dengan ketentuan pemerintah.

Jual beli hukumnya haram, misalnya jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat yang diperbolehkan dalam islam, juga mengandung unsur penipuan.

Jual beli hukumnya makruh, apabila barang yang dijual-belikan itu hukumnya makruh  seperti rokok.
















BAB II
RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI


Rukun dan syarat jual beli adalah ketentuan-ketentuan dalam jual beli yang harus dipenuhi agar jual belinya sah menurut syara’ (hukum Islam).
a.   Orang yang melaksanakan akad jual beli (penjual dan pembeli).
Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh penjual dan pembeli adalah :
1.    Berakal, jual belinya orang gila atau rusak akalnya dianggap tidak sah.
2.    Baliqh, jual belinya anak kecil yang belum baliqh dihukumi tidak sah. Akan tetapi, jika anak itu sudah mumayyiz (mampu membedakan baik atau buru), dibolehkan melakukan jual beli terhadap barang-barang yang harganya murah seperti : Permen, Kue, Kerupuk.
3.    Berhak menggunakan hartanya. Orang yang tidak berhak menggunakan harta milik orang yang sangat bodoh(idiot) tidak sah jual belinya. Firman Allah ( Q.S. An-Nisa’(4): 5):







b.   Sigat atau Ucapan Ijab dan Kabul.
Ulama fiqh sepakat, bahwa unsur utama dalam jual beli adalah kerelaan antara penjual dan pembeli. Karena kerelaan itu berada dalam hati, maka harus diwujudkan melalui ucapan ijab (dari pihak penjual) dan kabul  (dari pihak pembeli). Adapun syarat-syarat ijab kabul adalah :
1.    Orang yang mengucap ijab kabul  telah akil baliqh.
2.    Kabul  harus sesuai dengan ijab.
3.    Ijab dan kabul dilakukan dalam suatu majlis.

c.  Barang yang Diperjual-belikan
Barang yang diperjual-belikan harus memenuhi syarat-syarat yang diharuskan, antara lain :
1.   Barang yang diperjual-belikan itu halal.
2.   Barang itu ada manfaatnya.
3.   Barang itu ada ditempat, atau tidakada tapi ada ditempat lain.
4.   Barang itu merupakan milik si penjual atau dibawah kekuasaanya.
5.   Barang itu hendaklah diketahuioleh pihak penjual dan pembeli dengan jelas, baik zatnya, bentuknya dan kadarnya, maupun sifat-sifatnya.

d.  Nilai tukar barang yang dijual (pada zaman modern sampai sekarang ini berupa uang).
Adapun syarat-syarat bagi nilai tukar barang yang dijual itu adalah :
1.   Harga jual disepakati penjual dan pembeli harus jelas jumlahnya.
2.   Nilai tukar barang itu dapat diserahkan pada waktu transaksi jual beli, walaupun secara hukum, misalnya pembayaran menggunakan kartu kredit.
3.   Apabila jual beli dilakukan secara barter atau Al-muqayadah (nilai tukar barang yang dijual bukan berupa uang tetapi berupa uang.          



BAB III
HAL-HAL YANG TERLARANG DALAM JUAL BELI


Jual beli dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, antara lain ditinjau dari segi sah atau tidak sah dan terlarang atau tidak terlarang.
1.    Jual beli yang sah dan tidak terlarang yaitu jual beli yang terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya (seperti yang telah dijelaskan pada halaman sebelum ini).
2.    Jual beli yang terlarang dan tidak sah (bathil) yaitu jual beli yang salah satu rukun atau syaratnya tidak terpenuhi atau jual beli itu pada dasar dan sifatnya tidak disyariatkan (disesuaikan dengan ajaran islam).
3.    Jual beli yang sah tapi terlarang (fasid). Jual beli ini hukumnya sah, tidak membatalkan akad jual beli, tetapi dilarang oleh Islam karena sebab-sebab lain.
Berkenan dengan jual beli yang dilarang dalam Islam, Wahbah Al-Juhaili meringkasnya sebagai berikut [4]):
Ø  Terlarang Sebab Ahliah (Ahli Akad)
Ulama telah sepakat bahwa jual beli di kategorikan sah apabila dilakukan oleh orang yang baliqh, berakal, dapat memilih. Mereka yang dipandang tidak sah jual belinya sebagai berikut :
a.   Jual beli yang dilakukan oleh orang gila.
b.   Jual beli yang dilakukan oleh anak kecil.
      Terlarang dikarenakan anak kecil belum cukup dewasa untuk mengetahui perihal tentang jual beli.
c.   Jual beli yang dilakukan oleh orang buta.
Jual beli ini terlarang karena ia tidak dapat membedakan barang yang jelek dan barang yang baik.
d.   Jual beli terpaksa
      Terlarang dikarenakan tidak adanya unsur kerelaan antara penjual atau pun pembeli dalam akad.

e.    Jual beli fudhul
Adalah jual beli milik orang lain tanpa seizin pemiliknya.
f.     Jual beli yang terhalang
Terhalang disini artinya karena bangkrut, kebodohan, atau pun sakit.
g.   Jual beli malja’
Adalah jual beli orang yang sedang dalam bahaya, yakni untuk menghindar dari perbuatan zalim.

Ø  Terlarang Sebab Shigat
Jual beli yang antara ijab dan kabulnya tidak ada kesesuaian maka dipandang tidak sah. Beberapa jual beli yang termasuk terlarang sebab shiqat sebagai berikut :
a.   Jual beli Mu’athah
Jual beli yang telah disepakati oleh pihak akad, berkenaan dengan barang maupun harganya, tetapi tidak memakai ijab kabul.
b.   Jual beli melalui surat atau melalui utusan
      Dikarenakan kabul yang melebihi tempat, akad tersebut dipandang tidak sah, sperti surat tidak sampai ke tangan orang yang dimaksudkan.
c.   Jual beli dengan isyarat atau tulisan
Apabila isyarat dan tulisan tidak dipahami dan tulisannya jelek (tidak dapat dibaca), maka akad tidak sah.
d.   Jual beli barang yang tidak ada ditempat akad
      Terlarang karena tidak memenuhi syarat in’iqad  (terjadinya akad).
e.    Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dan kabul.
f.     Jual beli munjiz
Adalah yang dikaitkan dengan suatu syarat atau ditangguhkan pada waktu yang akan datang.

Ø  Terlarang Sebab Ma’qud Alaih (Barang jualan)
Ma’qud alaih adalah harta yang dijadikan alat pertukaran oleh orang yang akad, yang biasa disebut mabi ’  (barang jualan) dan harga. Tetapi ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian ulama, tetapi diperselisihkan, antara lain :

a.   Jual beli benda yang tidak ada atau dikhwatirkan tidak ada
b.   Jual beli yang tidak dapat diserahkan
      Contohnya jual beli burung yang ada di udara, dan ikan yang ada di dalam air tidak berdasarkan ketetapan syara’.
c.   Jual beli gharar
      Adalah jual beli barang yang menganung unsur menipu (gharar).
d.   Jual beli barang yang najis dan yang terkena najis
      Contohnya : Jual beli bangkai, babi, dll.
e.    Jual beli air
f.     Jual beli barang yang tidak jelas (majhul )
Terlarang karenakan akan mendatangkan pertentangan di antara manusia.
g.    Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad (gaib), tidak dapat dilihat
h.    Jual beli sesuatu sebelum di pegang
i.     Jual beli buah-buahan atau tumbuhan
Apabila belum terdapat buah, disepakati tidak ada akad. Setelah ada  buah, tetapi belum matang, akadnya fasid.

Ø  Terlarang Sebab Syara’
Jenis jual beli yang dipermasalahkan sebab syara’ nya diantaranya adalah :
a.   Jual beli riba
b.   Jual beli dengan uang dari barang yag diharamkan
      Contohnya jual beli khamar, anjing, bangkai.
c.   Jual beli barang dari hasil pencegatan barang
      Yakni mencegat pedagang dalam perjalanannya menuju tempat yang di tuju sehingga orang yang mencegat barang itu mendapatkan keuntungan.
d.   Jual beli waktu adzan jum’at
      Terlarang dikarena bagi laki-laki yang melakukan transaksi jual beli dapat mengganggukan aktifitas kewajibannya sebagai muslim dalam mengerjakan shalat jum’at.
e.    Jual beli anggur untuk dijadikan khamar
f.     Jual beli barang yang sedang dibeli oleh orang lain
g.    Jual beli hewan ternak yang masih dikandung oleh induknya.
BAB IV
KHIYAR


A.   Pengertian
Menurut Ulama Fiqh[5]), khiyar adalah “Suatu keadaan yang menyebabkan orang yang akad (aqid) memiliki hak untuk memutuskan akadnya, yakni menjadikan atau membatalkannya jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat, ‘aib atau ru’yah, atau hendaklah memilih di antara dua barang jika khiyar ta’yin.”

Khiyar adalah hak memilih bagi si penjual dan si pembeli untuk meneruskan jual belinya atau membatalkan karena adanya sesuatu hal.

B.   Macam-macam khiyar yang kita kenal :
1.   Khiyar syarat
Ø  Pengertian
Menurut Ulama fiqh5), Khiyar syarat adalah “Suatu keadaan yang membolehkan salah seorang yang akad atau masing-masing yang akad atau selain kedua pihak yang akad memiliki hak atas pembatalan atau penetapan akad selama waktu yang diientukan.”  Contohnya :  si penjual berkata kepada si pembeli, “Saya jual barang ini kepadamu seharga Rp.100.000,- dengan syarat boleh khiyar selama tiga hari tiga malam.”
Ø  khiyar masyru’ (disyariatkan) dan khiyar rusak
1.    khiyar masyru’ (disyariatkan)
adalah khiyar yang ditetapkan batasan waktunya. Contohnya : si penjual berkata kepada si pembeli, “Saya jual barang ini kepadamu seharga Rp.100.000,- dengan syarat boleh khiyar selama tiga hari tiga malam.”


2.   khiyar rusak
      khiyar rusak yaitu khiyar yang batasan waktunya tidak diketahui atau rusak, dan perbuatan ini mengandung unsur jahalah (ketidak jelasan. Contohnya : “Saya beli barang ini dengan syarat saya khiyar selamanya.”

Ø  Batasan khiyar masyru’
Adapun batas khiyar itu adalah tidak boleh lebih dari tiga hari. Dan beberapa dari para ulama berpendapat bahwa[6]) khiyar yang melebihi tiga hari membatalkan jual beli, sedangkan bila kurang dari tiga hari adalah rukhshah (keringan) bagi penjual.

2.   Khiyar majlis
Ø  Pengertian
Menurut Ulama fiqh[7]), “Hak bagi semua pihak yang melakukan akad untuk membatalkan akad selagi masih berada di tempat akad dan kedua pihak belum berpisah. Keduanya saling memilih sehingga muncul kelaziman dalam akad.”











BAB V
JUAL BELI AS-SALAM


A.   Pengertian
As-salam atau As-shalaf adalah pembayaran di muka dan penyerahan barang di kemudian hari, yang terdefinisi oleh para fuqaha sebagai ”akad jual beli atas sesuatu yang disebutkan kriterianya dalam akad, dan yang dijanjikan akan diserahkan pada waktunya yang ditentukan nanti kepada pembeli, dengan bayaran yang diserahkan pada saat transaksi”. Firman Allah Swt dalam surat al-baqarah  ayat 282 yang membolehkan transaksi ini :
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai umtuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”(Q.S Al-Baqarah (2) :282)

B.   Syarat sah transaksi model salam
1.      Adanya kepastian sifat-sifat barang yang ditransaksikan.
2.      Menyebut jenis dan macam barang yang ditransaksikan dengan akad salam.
3.      Disebutkan ukuran barang yang ditransaksikan dengan akad salam itu.
4.      Disebutkan waktu penyerahan barang.
5.      Agar barang yang ditransakasikan salam itu biasanya tersedia pada waktu penyerahan barang seperti yang ditetapkan, sehingga sapat diserahkan pada waktunya.
6.      Agar harga pembeliannya sudah diterima secara sempurna dan diketahui jumlahnya pada saat akad/transaksi.
7.      Agar barang yang ditransaksikan itu bukan sesuatu yang tertentu, tapi hendaknya ia bentuk semacam utang yang tertanggung.
Transaksi melalui hal seperti ini dibolehkan karena salah satu kemudahan yang diberikan oleh syarat islam dan sikap toleransinya. karena juga dalam muamalah ini terdapat kemudahan bagi manusia ini terdapat kemudahan bagi manusia dan mewujudkan kemaslahatan mereka, sambil bersihnya hal itu dari riba dan seluruh hal yang dilarang. Maka, segala puji bagi Allah atas segala kemudahan yang dianugerahkan-Nya.



























BAB VI
PENUTUP


A.  Kesimpulan
Sesuatu hal yang sering kita lupakan menjadi hal yang dapat merusak nilai amalan yang kita lakukan jual beli, jadi hal upaya tentang penulisan ini dilakukan untuk memberikan informasi tentang pengertian, dasar hukum jual beli, rukun dan syarat jual beli, hal yang terlarang dalam jual beli, khiyar, dan jual beli As-salam. Agar terciptanya lingkungan ekonomi perdagangan islam yang sehat dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk itu penulis menyimpulkan bahwa jual beli islam adalah suatu kegiatan yang bersifat kepentingan umum, juga menjadi tolak ukur untuk mensejahterakan kehidupan rakyat terutama dalam bidang perekonomian. Karena manusia ini adalah makhluk sosial, jadi diperlukan kegiatan jual beli ini juga seluk beluk mengenai jual beli islam ini sudah dapat dilihat dalam bab-bab makalah ini.


B.  Saran
Penulisan makalah ini menunjukkan hal yang berkaitan dengan apa-apa saja mengenai hukum-hukum, tata cara pelaksanaan yang terkait tentang hubungan jual beli yang baik antara penjual juga pembeli, sehingga dapat mendorong munculnya penulisan makalah yang sejenis dalam pemberi informasi yang lebih baik lagi tentang hal-hal yang berkaitan dengan hubungan jual beli.







DAFTAR PUSTAKA


Rahmat Syafe’i MA, Prof., Dr., 2004, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, Bandung.
Wahbah Al-Juhaili, 1989, Al-fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Dar Al-Fikr.
Rambe, Nawawiah, Drs, 1994, Fiqih Islam, Duta Pahala, Jakarta.
Syamsuri, Drs, H., 2005, Pendidikan Agama Islam SMA Jilid 2 Untuk Kelas XI, Erlangga, Jakarta.


[1]  Alaudin Al-Kasyani, Badai’ Ash-Shanai’fi Tartib Asy-Syarai’. Juz V, Hlm. 133
[2] )  Muhammad Asy-Syarbini, Mugni Al-Muhtaj. Juz II, hlm. 2
[3] )  Ibnu Qudamah, Al-Mugni. Juz III, hlm. 559
[4] )  Ibid, hlm. 500-515
[5] ) Wahbah Al-Juhaili,  Al-Fiqh Al-Islami Wa adillatuhu, juz IV, hlm. 250
[6] )   Al-Kasani, Op.Cit., juz V, hlm. 174
[7] )  Al-Juahaili, Op.Cit., juz IV, hlm. 250