Senin, 06 Juni 2011

BUNGA BANK

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam hal hutang piutang, paling tidak ada dua hal yang dapat kita sepakati dan kita yakini kebenaran hukumnya, yang hingga kini belum ditemukan perbedaan pendapat dari para ulama’ fikih.
Bagi orang yang berhutang tidak dilarang, dan bahkan di sunnahkan membayar hutangnya lebih baik dari hutang yang dimiliki. Artinya, ia boleh memberikan lebih dari jumlah hutang, atau bentuk yang lebih baik, baik secara fisik atau sifatnya. Namun semua ini tidak terjadi pada saat melaksanakan perjanjian yang terjadi dalam akad.
Dengan demikian, bagi pemberi hutang diperbolehkan menerima kelebihan tersebut tanpa hukum makruh, dan kelebihan tersebut bisa langsung dimiliki tanpa perlu adanya akad (ijab dan qabul).
Memberikan lebih dari jumlah hutang, baik dalam hitungan atau kualitas, yang dilaksanakan atas dasar perjanjian yang diucapkan (disepakati) dalam akad hukumnya adalah haram. Baik bagi pemberi hutang atau yang menerimanya, bahkan hukum haram ini juga berlaku bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya secara langsung.
Tarik-menarik antara halal dan haram inilah yang melatar belakangi perbedaan pendapat antar ulama’. Dan gambaran ini pula yang terjadi pada bunga bank, sehingga tidak mengherankan apabila terjadi perbedaan pendapat di antara ulama’-ulama’ fikih.
Maka dari itu kita tidak bisa mutlak menyalahkan orang lain dan merasa benar secara mutlak, dengan demikian perbedaan pendapat tetap , dan apapun yang kita lakukan dengan memperkuat salah satunya hanyalah memberi tambahan pertimbangan untuk hal yang kita pilih. Tanpa menvonis kehalalan atau keharamannya.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Bunga Bank (Riba)

Riba (asury atau interest) yang berasal dari bahasa arab artinya tambahan (ziyadah), yang berarti tambahan pembelajaran atas uang pokok pinjaman. Dan dalam hal ini para ulama’ fikih terjadi perbedaan pendapat menurut sifat penetapan haramnya.
Menurut golongan Hanafi, adalah setiap kelebihan tanpa adanya imbalan atau takaran dan timbangan yang dilakukan antara pembeli dan penjual di dalam tukar-menukar. Misalnya menukar dirham dengan berat yang tidak sama, hal ini diperbolehkan karena dipandang hibah. Jadi menurut mereka menetapkan kelebihan penukaran itu sebagai Riba bila barangnya sejenis.
Sedangkan menurut golongan Syafi’i, Riba ialah  transaksi dengan imbalan tertentu yang tidak diketahui kesamaan takarannya maupun ukurannya waktu dilakukan transaksi atau dengan penundaan waktu penyerahan kedua barang yang dipertukarkan atau salah satunya.
Kesamaan takaran atau ukuran yang di maksud disini adalah pada benda sejenis, seperti emas dengan emas. Menurut golongan Syafi’i sebab larangan ini berlaku pada barang makanan, sekalipun barang tersebut pengukurannya menggunakan takaran atau timbangan dan dilakukan secara tunai.
Menurut golongan Maliki, definisi ini hampir sama dengan pendapat dari golongan Syafi’i, hanya berbeda dengan ilatnya. Menurut mereka ilatnya ialah pada transaksi.
Dan menurut golongan Hanbali, Riba menurut sara’ adalah tambahan yang diberikan pada barang tertentu atau ditimbang dengan jumlah yang bereda. Tindakan semacam inilah yang dinamakan Riba selama dilakukan dengan tidak kontan.[1])
Sedangkan menurut Al-Jurjani Riba adalah kelebihan pembayaran tanpa ada ganti atau imbalan, yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad (transaksi).[2])   
B.     Bank Konvensonal dan Bank Islam
Melihat definisi-definisi Riba yang terjadi perbedaan di kalangan para ulama’ fikih yang disebutkan di atas, maka dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, umat islam sangat sulit untuk menghindari bermuamalah dengan bank konvensional yang memakai sistem sistem bunga dalam segala aspek kehidupannya, termasuk kehidupan agamanya. Misalnya, haji di Indonesia umat islam harus memakai jasa bank apalagi kehidupan ekonomi tidak bisa lepas dari jasa bank, sebab tanpa jasa bank, perekonomian Indonesia tidak selancar dan semaju sekarang ini. Jadi mau tidak mau, kita sebagai umat Islam juga butuh pada jasa bank dengan bunganya yang kontroversial itu.
Bank konvensional adalah sebuah lembaga keuangan yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada orang yang memerlukan dana, baik perorangan atau badan guna investasi dalam usaha-usaha yang produktif dan lain-lain dengan sistem bunga.
Sedangkan tandingannya, yakni bank Islam (bank Syari’ah) adalah sebuah lembaga keuangan yang menjalankan operasinya menurut hukum syari’at Islam.[3])
Pada umumnya masyarakat sering kali menggunakan jasa bunga bank antara hutang atau pinjam (qord) uang dengan menggunakan jaminan dan melunasinya dengan cara mencicil setiap bulan, yang pastinya pihak bank  menuntut bunga dari pinjaman tersebut. Begitu juga dalam masalah menabung (wadiah) atau setiap uang pada bank, oleh pihak bank uang tersebut digunakan untuk meminjamkannya pada orang-orang yang menbutuhkan dana. Dan pastinya bank menuntut bunga bagi peminjam. Sedangkan orang yang menaruh uang di bank (Nasabah) uangnya semakin bertambah, semua itu dilakukan oleh bank konvensional.
Sistem bank konvensional tidak ada pada masa Rasul, bahkan tidak  di temukan di jaman klasik maupun pertengahan. Menurut informasi sementara, bank konvensional pertamakali didirikan pada tahun 1157 M. Di Itali.kemudian sistem ini berkembang pada seperempat terakhir dari abad XIX dan mulai masuk ke negeri-negeri Islam pada akhir abad XIX. Oleh karena tidak ditemukan di jaman Rasul, maka tidak ditemukan pula nash yang jelas mengenai hukum bunga bank konvensional. Bahkan dalam literatur klasik dan jaman pertengahan pun tidak ditemukan.
Sebagai pedoman hidup sepanjang jaman, Islam harus mempunyai sikap terhadap bunga bank. Suatu hal perlu diingat, bahwa dalil dalil hukum dalam Islam itu tidak hanya Al-Qur’an Dan Hadits saja, ada Ijma’, Qiyas (analogi), mashlahah mursalah, istihsan, istishab, uruf, syar’uman qablana, dan pendapat para sahabat nabi. Lebih dari pada itu, dalam menetapkan hukum, Islam memiliki sejumlah kaedah yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus yang timbul dalam masyarakat. Dalam menerapkan dalil dan kaedah ini para ulama’ menggunakan ijtihad mereka yang kadang-kadang berakhir dengan perbedaan pendapat.[4]) maka sejumlah ulama’ telah telah lama memandang bunga bank sama dengan Riba.
Adapun dampak dari praktek Riba itu antara lain:
1.      Menyebabkan eksploitasi (pemerasan) oleh orang kaya terhadap orang miskin.
2.      Uang modal besar yang dikuasai oleh the haves tidak disalurkan ke dalam usaha-usaha yang produktif. Misalnya pertanian, perkebunan, industri, dan sebagainya yang dapat menciptakan lapangan kerja, yang bermanfaat bagi masyarakat banyak dan juga bagi pemilik modal itu sendiri, tetapi modal besar itu justru disalurkan dalam perkreditan berbunga yang belum produktif. Keuntungan semata-mata diambilkan dari bunga pinjaman  masyarakat yang membutuhkan dana, bahkan dalam hal ini kedudukan peminjam adalah sebagai orang yang dirugikan.
3.      Bisa menyebabkan kebangkrutan usaha dan pada gilirannya bisa mengakibatkan keretakan rumah tangga, jika si peminjam tidak mampu mengembalikan pinjaman beserta bunganya.[5])
4.      Bunga dapat menciptakan kondisi manusia penganggur, yaitu para penanam modal dapat menerima setumpukan kekayaan dari bunga-bunga modalnya sehingga mereka tidak bekerja untuk menutupi kebutuhannya. Cara seperti ini berbahaya bagi masyarakat juga bagi pribadi orang-orang tersebut.[6])
Sedang dalam bank Islam yang operasionalnya menggunakan hukum syari’at Islam, menggunakan pengganti sistem bunga dengan berbagai cara yang bersih dari unsur Riba, antara lain:
1.    Wadi’ah (titipan uang, barang, dan surat-surat berharga). Lembaga fikih Islam wadi’ah ini, bila diterapkan oleh bank Islam dalam operasinya menghimpun dana dari masyarakat, dengan cara menerima deposito berupa uang, barang, dan surat-surat berharga sebagai amanat yang wajib dijaga keselamatannya. Dan bank berhak menggunakan dana yang di depositokan itu tanpa harus membayar imbalannya (bunga), tetapi bank harus menjamin bisa mengembalikan dana itu pada waktu pemiliknya memerlukan.
2.    Murabahah (jual beli barang dengan tambahan harga atas dasar harga pembelian yang pertama secara jujur). Dengan murabahaa ini , pada hakikatnya orang ingin merubah bisnisnya dari pinjam-meminjam menjadi jual-beli. Dengan sistem  murabahah bank bisa menyediakan barang yang diperlukan pengusaha untuk dijual lagi, dan bank minta tambahan harga atas harga pembeliannya.
3.    Mudharabah (kerjasama antara pemilik modal dengan pelaksana atas dasar perjanjian). Dengan mudharabah bank Islam dapat memberikan tambahan modal kepada pengusaha dengan perjanjian bagi hasil dan rugi sesuai perbandingannya dengan perjanjian.
4.    Qardh Hasan (pinjaman yang baik). Dimana bank Islam dapat memberikan pinjaman tanpa bunga kepada para nasabah yang baik. Terutama nasabah yang punya deposito di bank Islam. Itu sebagai salah satu service dan penghargaan bank kepada para deposito.[7])
Berbeda dengan apa yang ditawarkan oleh sistem bank konvensional, sistem bank Islam (syariat), dengan instrumen provitnya, yaitu sistem bagi hasil. Sangat bertolak belakang dengan kapitalis yang lebih bersifat individual, sosialis yang memberikan hampir semua tanggung jawab kepada warganya serta komunis yang ekstrim, ekonomi Islam menetapkan bentuk perdagangan serta perkhidmatan yang boleh dan tidak boleh di transaksikan. Ekonomi dalam Islam harus mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, memberikan rasa adil, kebersamaan dan kekeluargaan serta mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha.
C.    Hukum-Hukum Bunga Bank
Dalam praktek operasional bank konvensional yang ada pastilah terdapat sistem bunga, maka para ulama’ dalam menghukumi bunga bank terjadi perbedaan pendapat’
Menurut Abu Zahrah, guru besar pada fakultas hukum Universitas Cairo, Abul A’la al-Maududi (Pakistan), Muhammad Abdullah al-A’robi, penasehat hukum pada Islamic Congres Cairo, dan lain-lain yang menyatakan bahwa bunga bank itu Riba Nasi’ah yang dilarang oleh Islam, karena itu umat Islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai sistem bunga.
Sedangkan menurut A. Hasan, pendiri dan pemimpin pesantren Bagil (Persis) yang menerangkan bahwa bunga bank seperti di negara kita ini bukan Riba yang di haramkan, karena bersifat ganda sebagaimana yang dinyatakan dalam surat Ali-Imron, ayat 130:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ 
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130).[8])

Dan menurut Musthafa Ahmad al-Zarqa’, guru besar hukum Islam dan hukum perdata Universitas Syiria, bahwa sistem perbankan yang kita terima sekarang ini, sebagai realitas yang tidak dapat kita hindari. Karena itu umat Islam boleh bermuamalah dengan bank konvensional itu atas pertimbangan dalam keadaan darurat, dan bersifat sementara.[9])
Di dalam kitab Al-Mughni, ibnu Qudaimah mengatakan: “Riba diharamkan berdasarkan kitab, sunnah, dan ijma’”. Adapun kitab, pengharamannya di dasarkan pada firman Allah SWT: “Wa harrama al-riba”. (Al-Baqarah: 275) dan ayat-ayat berikutnya. Sedangkan sunnah: telah diriwayatkan dari Nabi SAW. Bahwasannya beliau bersabda :”jauhilah oleh kalian tujuh masalah yang membinasakan, menyekutukan Allah, sihir membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan haq, memakan Riba, memakan harta anak yatim, lari dari peperangan, menuduh wanita mukmin yang baik-baik berbuat zina”, juga di dasarkan pada riwayat, bahwa Nabi SAW. Telah melaknat orang yang memakan Riba, wakil, saksi, dan penulisnya.” (HR. Imam Bukhari dan Muslim)....dan umat Islam telah berkonsus tentang keharaman Riba.”
Imam al-Syiraaziy di antara kitab al-Muhadzab, menyatakan: Riba merupakan yang diharamkan. Keharamannya didasarkan pada firman Allah SWT :

....وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا...
“....padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba....”(QS. Al-Baqarah: 275).[10])
 Dan juga firman-Nya:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي ....يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسّ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.....”(QS. Al-Baqarah: 275)[11])
Imam al-Shar’aniy di dalam Subul al-Salam mengatakan, “seluruh umat Islam telah bersepakat atas haramnya Riba secara global”.
Di dalam kitab I’anatu al-Thalibin disebutkan, “Riba termasuk dosa besar, bahkan termasuk sebesar-besarnya dosa besar (min akbar al-kabair). pasalnya Rasulullah SAW. Telah melaknat orang yang memakan Riba, wakil, saksi, dan penulisnya.
Selain itu, Allah SWT. Dan Rasulullah SAW. Telah memaklumkan perang terhadap pelaku Riba, di dalam kitab al-Nihayah dituturkan bahwasannya dosa Riba itu lebih besar dari pada dosa zina, mencuri, dan minum khamr. Imam Syarbiniy di dalam kitab al-Iqna’ juga menyatakan hal yang sama Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukari menyatakan kaum muslimin sepakat bahwa Riba termasuk dosa besar.[12])
Dan ada yang berpendapat tentang hukum bunga bank konvensional sebagai berikut:
1.      Menyamakan antara bunga bank dengan Riba secara mutlak, sehingga hukumnya haram, pendapat ini dengan berbagai vareasi:
a.    Bunga bank itu dengan segala jenisnya sama dengan Riba, sehingga hukumnya haram. Di mana setiap perubahan atau penambahan disebut riba nasyiah dan riba nasyiah diharamkan oleh agama.
b.    Bunga itu sama dengan Riba dan hukumnya haram, akan tetapi boleh diambil (dipungut), sementara belum beroperasi sistem perbankan yang Islami (tanpa bunga).
c.    Bunga itu sama dengan Riba, hukumnya haram akan tetapi beleh dipungut sebab adanya kebutuhan yang kuat (hajah ruj’iyah).  
2.      Tidak menyamakan bunga bank dengan Riba, sehingga hukumnya boleh, pendapat ini juga terdapat beberapa vareasi:
a.    Bunga konsumtif sama dengan Riba, hukumnya haram, sedangkan bunga produktif tidak sama dengan Riba, jadi hukumnya halal.
b.    Bunga yang diperoleh dari tabungan giro tidak sama dengan Riba, hukumnya halal.
c.    Bunga yang diterima dari deposito yang ditaruh di bank, hukumnya boleh.
d.   Bunga bank tidak haram, kalau bank itu menetapkan tarif bunganya terlebih dahulu secara umum.[13])

3.      Berpendapat bahwa hukum bunga bank adalah subhat (tidak identik dengan haram)
Di sini adalah Ulama Muhammadiyah dalam Mu’tamar Tarjih di Sidoarjo Jawa Timur pada tahun 1968 memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya dan sebaliknya termasuk masalah musytabihat. Masalah musytabihat adalah perkara yang belum ditemukan kejelasan hukum halal atau haramnya, sebab mengandung unsur-unsur yang mungkin dapat disimpulkan sebagai perkara yang haram. Namun, ditinjau dari lain, ada pula unsur-unsur lain yang meringankan keharamannya.[14])
 Pertimbangan besar kecilnya bunga dan segi penggunaannya dirasakan agak meringankan sifat larangan riba yang unsur utamanya adalah pemerasan dari orang-orang kaya terhadap orang-orang miskin, meskipun bunga bank dianggap musytabihat tidak berarti umat Islam diberikan kebebasan untuk mengembangkan bunga. Nabi Saw. Memerintahkan umat Islam hati-hati terhadap perkara subhat dengan cara mejauhinya.[15])














BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Melalui keterangan di atas, bahwa para fuqoha’ terjadi perbedaan pendapat, ada yang menghukumi haram, halal (boleh) dan ada juga yang menghukumi subhat, kita bisa mengambil kesimpulan yang terbaik adalah bersikap hati-hati (ikhtiyat), yaitu tidak bermuamalah yang berbau Riba karena banyak ulama’ yang mengharamkan hal tersebut.
َالْخُرُُوْجُ مِنَ اْلخِلاَفِ مُسْتَحَبٌّق
“menghindar dari perselisihan ulama’ adalah sunnah”
Akan tetapi untuk fatwa kepada masyarakat, sebaiknya kita ambil langkah yang mungkin. Karena zaman modern sekarang ini sangat sulit menghindarkan diri dari berhubungan dengan bank. Dan bank yang saat ini ada di Indonesia mayoritas adalah bank konvensional.                                 Maka kelompok kami berpendapat HUKUM BUNGA BANK BOLEH, dengan ketentuan atas pertimbangan dharurat dan bersifat sementara, sebab umat Islam harus berusaha mencari jalan keluar dengan mendirikan bank tanpa sistem bunga, demi menyelamatkan umat Islam dari cengkraman bank konvensional dengan bunganya.






DAFTAR PUSTAKA

________________________________________
[1]) Abu Sara’i Abdul Hadi, Bunga Bank Dalam Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), 24-25.
[2]) Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997), 102. 
[3]) Ibid, 109.
[4]) http://ram/law.wordpress.com/Hukum Bunga Bank Dalam Pandangan Islam
[5]) Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah Tasysri’ wa falsafatuh, (Bairut: Dar-al-Fikr, 1997), j: 2,91.
[6]) http://www.tipskom.co.cc/2009/08/Pendapat Ulama’ Tentang Bunga Bank.
[7]) Masail al-Fiqhiyah,109-110.
[8]) Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit J-ART, 2004), 67.
[9]) Masail al-Fiqhiyah, 112-113.
[10]) Departemen Agama RI, 48.
[11]) Ibid.
[12]) http//anak cirerai,bligspot.com
[13]) Abdul Aziz Masyhuri, Ahkamul Fuqaha, (Surabaya: Dinamika press, t.t.), 368.
[14]) http://www.tipskom.co.cc/2009/08.
[15]) Ibid.

PEMIKIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISMAIL RAJI AL-FARUQI



A.    Biografi Intelektualnya

Ismail Raji Al-Faruqi (1921-1986) adalah seorang sarjana dan aktivis Islam yang lahir di Jaffa, Palestina. Faruqi mengenyam pendidikan yang menjadikannya mengauasai tiga bahasa (Arab, Inggris, dan Prancis) dan memberinya sumber-sumber intelektual multibudaya yang memberikanan informasi bagi kehidupan dan pemikirannya. Faruqi belajar di sekolah masjid, sekolah Katolik Prancis, College des Freres (St. Joseph) di Palestina, dan memperoleh gelar sarjana muda di Universitas Amerika Serikat di Beirut (1941). Setelah menjadi Gubernur Galilee pada 1945, dia terpaksa meninggalkan Palestina setelah pembentukan negara Israel pada 1948; kemudian memperoleh gelar master di universitas Indian dan Universitas Harvard serta gelar doktor filsafat dari Universitas Indiana (1952) (Esposito, 2001: 40-41).

Pada 1954, dia kembali ke dunia Arab dan mempelajari Islam di Universitas al-Azhar, Kairo. Dia selanjutnya belajar dan melakukan penelitian di pusat-pusat utama ilmu di dunia Muslim dan Barat sebagai guru Besar Tamu Studi Islam di Institut Studi-studi Islam dan di Fakultas Teologi, Universitas McGill (1959-1961), tempat dia mempelajari Kristen dan Yahudi; Profesor Studi-studi Islam di Institut Pusat Riset Islam di Karachi, Pakistan (1961-1963); dan Guru Besar Tamu untuk sejarah Agama-Agama di Universitas Chicago (1963-1964).

Selama 10 tahun dia tampil sebagai seorang Arab ahli waris modernisme Islam dan empirisme Barat, pada akhir 1960-an dan awal 1970-an dia secara progresif berperan sebagai sarjana aktivis Islam. Islam dalam pandangan dia, merupakan suatu ideologi yang serba meliputi, identitas primer bagi suatu komunitas orang beriman (umat) sedunia dan prinsip pemandu bagi masyarakat dan budaya. Al-Faruqi mendasarkan interpretasi Islamnya pada doktrin tauhid (keesaan Tuhan), memadukan penegasan klasik sentralitas keesaan Tuhan (monoteis) dengan interpretasi modernis (ijtihad) dan penerapan Islam dalam kehidupan modernis. Dalam kitabnya Tawhid: Its Implications for Thought and Life, dia melukiskan tauhid sebagai esensi pengalaman keagamaan, inti Islam, dan prinsip sejarah, pengetahuan, etika, estetika, umat (komunitas Muslim), keluarga, serta tatanan politik sosial ekonomi, dan dunia.

Pandangan dunia Islam dari aktivis holistis ini terwujudkan dalam fase baru kehidupan dan kariernya ketika dia menulis secara ekstensif, memberikan kuliah dan berkonsultasi dengan berbagai gerakan Islam dan pemerintah nasional, serta mengorganisasikan kaum Muslim Amerika. Selama 1970-an dia mendirikan program studi-studi Islam, merekrut dan melatih mahasiwa muslim, mengorganisasikan profesional muslim, membentuk dan mengetuai Panitia Pengarah dalam studi-studi Islam Akademi Agama Amerika (1976-1982), menjadi dan peserta aktif dialog antaragama internasional yang di dalamnya dia menjadi juru bicara utama Islam dalam dialog dengan agama-agama lain di dunia. Faruqi adalah pendiri atau pemimpin banyak organisasi seperti Perhimpunan Mahasiswa Muslim dan sejumlah perhimpunan profesional Muslim seperti Perhimpunan Ilmuan Sosial Muslim. Dia juga menjadi dewan Pengawas perwakilan Islam Amerika Utara; mendirikan dan menjadi presiden pertama Perguruan Tinggi Amerika di Chicago; pada 1981 membentuk Institut Internasional bagi Pemikiran Islam di Virginia.

Inti utama dari visi Faruqi adalah islamisasi pengetahuan. Dia menganggap kelumpuhan politik, ekonomi, dan religio-kultural umat Islam terutama merupakan akibat dualisme sistem pendidikan di dunia Muslim, dibantah hilangnya identitas dan tak adanya visi, dia yakin bahwa obatnya ada dua; mengkaji peradaban Islam dan islamisasi pengetahuan modern.


B.     Pendidikan: Perspektif al-Faruqi

Modernisasi Barat sangat berpengaruh terhadap kemajuan dunia pendidikan, namun keadaan pendidikan di dunia Islam dalam pandangan Faruqi merupakan fenomena yang terburuk. Dia mensinyalir bahwa pendidikan Barat yang dijiplak di dunia Islam berubah menjadi sebuah karikatur dari prototype Barat. Materi-materi dan metodologi yang kini diajarkan di dunia Islam, hampir secara keseluruhan berkiblat pada Barat, padahal hasil dari jiplakan itu tidak mengandung wawasan yang menyeluruh. Kata dia, …meteri dan metodologi yang hampa itu terus memberi pengaruh jelak yang mendeislamisasikan siswa, dengan berperan sebagai alternatif-alternatif bagi materi-materi dan metodologi Islam dan sebagai bantuan untuk mencapai kemajuan dan modernisasi (Faruqi, 1984: 16-17).

Begitu pula dengan tenaga-tenaga pendidik, di universitas-universitas dunia Islam tidak memiliki wawasan (vision) Islam dan tidak didorong oleh cita-cita Islam. Kenyataan ini sudah pasti merupakan bencana yang begitu menyulitkan di dalam pendidikan Muslim. Di setiap negara Islam, para mahasiswa yang memasuki perguruan tinggi dibekali-sehubungan dengan wawasan Islam- dengan pengetahuan yang sedikit sekali mengenai Islam yang mereka peroleh di rumah atau di sekolah dasar dan menengah. Jelas sekali, pengetahuan yang sedikit ini tidak merupakan wawasan dan cita-cita yang dapat diandalkan di masa depan.

Oleh karena itu, secara ideologis seorang mahasiswa baru masuk sebagai tabula rasa (masih bersih dari impresi-impresi). Ia boleh masuk dengan beberapa rasa sentimen, tetapi tidak dengan ide-ide. Jelas sekali mereka akan digiring untuk tidak memiliki pertahanan-pertahanan, mereka tidak memiliki wawasan untuk melawan pada level ideasional. Jika mereka lulus, akan menjadi seorang atheis, sekularis, atau komunis sejati, wawasannya mengenai Islam surut ke alam personal, subyektif, dan ketergantungan sentimental kepada famili dan bangsa.

Menurut Faruqi, sistem pendidikan Islam yang terdiri dari madrasah-madrsasah dasar dan menengah disamping kulliyah dan jami’iyah pada tingkat perguruan tinggi harus dipadukan dengan sistem sekular dari sekolah-sekolah dan universitas umum. Perpaduan ini harus sedemikian sehingga sistem baru yang terpadu itu dapat memperoleh kedua macam keuntungan dari sistem yang terdahulu. Sumber-sumber finalsial negara dan keterlibatan kepada wawasan (vision) Islam.

Perpaduan sistem tersebut, haruslah merupakan kesempatan yang tepat untuk menghilangkan keburukan masing-masing sistem: tidak memadainya buku-buku pegangan yang telah usang dan guru-guru yang tak berpengalaman di dalam sistem yang tradisional, peniruan metode-metode dan ideal-ideal Barat sekuler di dalam sistem yang sekuler. Dengan demikian, kemungkinan untuk memperoleh keunggulan di dalam displin-disiplin Barat tidak didapatkan oleh siswa-siswa Muslim. Karena untuk mencapai keunggulan tersebut, yang pertama harus mempunyai persepsi terhadap totalitas pengetahuan di setiap lini bidang ilmu dan yang kedua, motivasi, karena sebuah ide pendorong untuk mencocokkan dan mensucikan totalitas dari ilmu itu.

Sudah saatnya bagi cendikiawan Muslim meninggalkan metode-metode asal tiru yang berbahaya itu dalam reformasi pendidikan. Bagi mereka reformasi pendidikan hendaklah islamisasi pengetahuan modern itu sendiri. Jadi tugas mereka adalah sama, walaupun dengan jangkauan yang luas, dengan yang dilakukan leluhur kita yang mencernakan pengetahuan pada zaman mereka dan menghasilkan warisan Islam berupa kultur dan peradaban. Sebagai disiplin, segala sains harus disusun dan bangun ulang dengan diberikan dasar Islam yang baru, dan diberikan tujuan yang baru sesuai dengan misi Islam (al-Faruqi, 1984: xi).

Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga terwujudkan prinsip-prinsip Islam di dalam metodologinya, di dalam strateginya, di dalam apa yang dikatakan sebagai data-datanya, problem-problemnya, tujuan-tujuan dan aspirasi-aspirasinya. Setiap disiplin harus ditempa ulang sehingga mengungkapkan relevansi Islam sepanjang ketiga sumbu tauhid. Sumbu pertama adalah sumbu pengetahuan. Berdasarkan pengetahuan ini segala disiplin harus mencari obyektif yang rasional, pengetahuan yang kritis mengenai kebenaran. Dengan demikian bersifat aqli (rasional) dan beberapa sains lainnya bersifat naqli (tidak rasional). Bahwa beberapa disiplin bersifat ilmiah dan mutlak sedang disiplin lainnya bersifat dogmatis dan relatif.

Kedua, adalah kesatuan hidup. Berdasarkan kesatuan hidup ini segala disiplin harus menyadari dan mengabdi kapada tujuan penciptaan. Dengan demikian tidak ada lagi pernyataan bahwa beberapa disiplin sarat nilai sedang disiplin- disiplin lainnnya bebas nilai atau netral.

Sedang yang ketiga, adalah kesatuan sejarah. Berdasarkan kesatuan sejarah ini segala disiplin akan menerima sifat yang ummatis atau kemasyrakatan dari seluruh aktivitas manusia, dan mengabdi kepada tujuan-tujuan ummah di dalam sejarah. Dengan demikian tidak ada lagi pembagian pengetahuan ke dalam sains-sains yang bersifat indivual dan sains-sains yang bersifat sosial, sehingga semua disiplin tersebut bersifat humanistis dan ummatis.


C.    Gagasan Islamisasi Pengetahuan

Di dunia Islam, lahirnya gagasan islamisasi pengetahuan sebenarnya berawal dari gagasan Seyyed Hossen Nasr, yang digelindingkan mulai pada tahun 1968 dengan karya monumentalnya The Encounter of Man and Nature, gagasan ini kemudian menjadi bahan pembicaraan yang penting dalam Konferensi Dunia I tentang Pendidikan Muslim di Makkah pada 1977. Dalam pertemuan itu dua cendekiawan muslim kaliber internasional Syed Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi, berbicara tentang perlunya membangun suatu epistemologi Islam (Arifin, 1996: 77).

Munculnya gagasan islamisasi pengetahuan berangkat dari adanya suatu kesadaran teologis dan etis untuk mengembangkan ilmu pengetahuan atas dasar pandangan dunia Islam, setelah disadari paradigma pengetahuan modern banyak mendatangkan dampak negatif terhadap perkembangan peradaban manusia modern. Munculnya dampak ini sebagai konsekuensi dari dasar filsafat keilmuan yang meliputi aspek metafisika, epistemologi dan aksiologi yang secara eksplisit tidak mempunyai keterkaitan dengan kepentingan moralitas manusia.

Selanjutnya, keringnya nilai-nilai etik dan moral, menjadikan sains modern dalam tataran aksiologinya seringkali menafikan kemaslahatan manusia. Apa yang sekarang dosebut sebagai krisis global, menunjukkan adanya keterpecahan antara nilai-nilai etik dengan sains modern yang berkembang dalam kerangka netralitas etik (free value).

Meskipun frase islamisasi pengetahuan itu baru, daya dorong umum dibelakangnya bukanlah hal baru. Kebutuhan berulang untuk melihat pendekatan terhadap pengetahuan dan realitas di dalam kerangka Islam muncul ketika sarjana Muslim merasakan adanya ancaman serius terhadap Islam dan kebutuhan untuk menekankan kembali batas-batasnya.

Persepsi yang berbeda meskipun jelas sama tentang ancaman, melahirkan tuntutan akan islamisasi pengetahuan. Sarjana muslim kontemporer berpendapat bahwa meskipun bangsa mereka telah bebas dari kekuasaan penjajah, pengaruh budaya dan intelektual Barat masih mendominasi. Khususnya, pengetahuan itu sendiri mencerminkan pengaruh ini dalam disiplin-disiplin yang diajarkan di Universitas dan di jurnal-jurnal yang diterbitkan dalam bahasa Eropa serta dijual kepada orang-orang elit. Pengetahuan modern jelas tak memiliki konsep al-Qur’an tentang fitrah manusia dan pandangannya tentang alam semesta. Untuk melawan kecenderungan yang semakin kuat ini, yang pertama-tama dibutuhkan adalah mengkaji ulang disiplin-disiplin utama, seperti ekonomi, antropologi dan lain-lain. Kemudian merumuskan bagaimana disiplin tersebut dapat mencerminkan pemikiran Islam autentik. Pendekatan pada disiplin yang melampaui disiplin itu sendiri perlu dibuat dalam kerangka yang lebih islami.

Perkembangan teknologi komunikasi membantu menciptakan jaringan global yang memudahkan pertukaran gagasan. Sarjana menemukan adanya rasa haus akan penafsiran Islam tentang pengetahuan di mana pun kaum muslim tinggal. Konfenrensi dunia pertama tentang pendidikan Muslim diselenggarakan, tepatnya di Makkah pada 19977 dan melahirkkan serangkaian seminar, konferensi, dan buku: pendidik seperti Ali Ashraf menulis tentang “pendidikan Islam, (1979, 1985), pakar ekonomi seperti Khurshid Ahmad tentang “Ekonomi Islam” (1981), M.N. Siddiqi tentang “Perbankan Islam” (1983), sosiolog seperti Ilyas Ba-Yunus dan Farid Ahmad tentang Antropologi tentang “sosiologi Islam” (1985). Fakta bahwa para sarjana ini berasal dari berbagai negara dan mewakili berbagai disiplin menambah prestise dan kredibilitas upaya tersebut.

Para sarjana kini menghadapi ide-ide yang terbentuk di sekitar gagasan islamisasi pengetahuan. Salah seorang sarjana teraktif dan komit dari generasinya, Ismail Raji al-Faruqi, seorang Palestina yang menetap di Amerika serikat, membantu meluncurkan Institut Pemikiran Islam Internasional, yang menjadi tokoh besar intelektual, yang memberikan gagasan dan publikasi yang diikuti dunia; sebuah program besar diprakarsai untuk mengkaji setiap disiplin akademis utama dari sudut pandang islamisasi pengetahuan (Abu Sulayman, 1986). Tragisnya, al-Faruqi terbunuh pada 1986 ketika terbit studi pertama seri ini. Dalam prakatanya untuk studi ini, dia mendefinisikan usaha ini:

Program ini, yang dipahami dan dan dikristalisasikan dalam sejumlah simposium tentang subjek ini, terdiri atas dua belas langkah yang dirancang untuk menjalankan islamisasi pengetahuan di berbagai disiplin pengetahuan. Sebagian langkah itu berupaya menyurvai dan mengevaluasi prestasi Barat Modern. Sebagian lainnya berbuat sama terhadap warisan pengetahuan muslim. Tujuannya ialah menguasai sepenuhnya setiap disiplin dan mempersiapkan disiplin itu dibangun kembali di atas landasan Islam. Ini berarti mengoreksi prasangka dan kesalahannya, mengeliminasi kelemahannya, dan memperbaiki metodologi serta aspirasinya (al-Faruqi, Prakata dalam Akbar S. Ahmed, 1987:7).

Al-Faruqi memperingatkan kaum muslim tentang perlunya keseksamaan dan integritas kerja mereka. Ia tidak ingin mengganti satu jenis dogma dengan lainnya:

Islamisasi bukanlah berarti subordinasi khazanah pengetahuan dibawah prinsip-prinsio dogmatis atau tujuan-tujuan serampangan, melainkan pembebasan dari Shackles semacam itu. Islam memandang semua jenis pengetahuan sebagai hal yang universal, bermanfaat, dan rasional. Akibatnya, disiplin yang terislamisasi yang kita harapkan dapat dicapai pada masa mendatang, akan membuka halaman baru dalam sejarah semangat kemanusiaan, dan akan membawanya lebih dekat ke arah kebenaran (Akbar S. Ahmed, 1987: 7).




D.    Karya-karya al-Faruqi

Karya yang dihasilkan dari pemikiran al-Faruqi dapat kita jumpai dalam bentuk karya asli maupun terjemahan. Sebagian besar karyanya berbicara tentang dialektika Islam modern dan mencurahkan perhatiannya tentang islamisasi sains. Ide-idenya selalu menampilkan wacana yang mengarah kepada ketahidan. Berikut ini beberapa karya-karyanya:

1.      On Arabism 4 Jilid. Amsterdam, 1962.

2.      Christian Ethics, montreal, 1967.

3.       “Islam and Modernity: Diatribe or Dialogue?” Journal of Ecumenical Studies, 1968.

4.       “Islam and Modernity: Problem and Prospectives” dalam The Word in the Third World, disunting oleh James P. Cotter, 1968.

5.      Historical Atlas of The Religious of The World. New York, 1974. “Islamizing the Social Science”. Studies in Islam, 1979.

6.      Islam and Culture, Kuala Lumpur, 1980.

7.      The Role of Islam in Global Interreligions Dependences” dalam Towards a Global Congress of World’s, disunting oleh Warren Lewis, Barrytown, N.Y. 1980.

8.      Essays in Islamic and Comparative Studies. Washington D.C. 1982. (kumpulan esai yang disunting oleh al-Faruqi)

9.      Islamization of Knowledge. Islamabad, 1982.

10.  Tawhid: Its Implications for Thought and Life. Herndon, 1982.

Dari sekian banyak karya yang dia ditulis, sebagian besar berbicara tentang islamisasi pengetahuan. Dia menggarisbawahi tentang perlunya kesadaran tauhid sebagai landasan bagi setiap disiplin ilmu. Bahkan, dalam beberapa karyanya dia merekomendasikan perlunya sebuah islamisasi ilmu-ilmu sosial.


E.     Kesimpulan

Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa al-Faruqi menyoroti tentang kekaburan dunia Islam dalam mengembangkan pendidikan yang hampir keseluruhan tengah meniru model yang dikembangkan di Barat, dengan tanpa mengelaborasi lebih jauh. Padahal segala apa yang datang dari Barat belum tentu sesuai dengan konsep dan kultur yang ada dalam dunia Islam. Dengan latar belakang itu, Formula yang ditawarkan oleh al-Faruqi adalah perlunya islamisasi pengetahuan. Karena kerja ini merupakan bagian yang harus dilakukan oleh dunia pendidikan Islam untuk meraih kembali kemajuan-kemajuan di segala bidang.

Islamisasi pengetahuan dalam pandangan al-Faruqi lebih mengarah pada islamisasi ilmu-ilmu sosial. Islamisasi mencakup setiap disiplin dalam ilmu-ilmu sosial, terutama pada masalah metodologi. Ungkapan yang tidak jauh berbeda dengan Faruqi, al-Attas melalui gagasan islamisasinya, dia juga berupaya mengeliminir unsur-unsur serta konep kebudayaan dan peradaban Barat, khususnya dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Termasuk di dalam unsur-unsur dan konsep-konsep ini adalah cara pandang tentang realitas yang dualistik, doktrin humanisme dan tekanan kepada dan penugasan drama dan tragedi dalam kehidupan ruhani.

Dengan islamisasi pengetahuan, al-Faruqi berusaha untuk merumuskan teori-teori, kaidah-kaidah dan tujuan-tujuan yang harus tunduk kepada keesaan Tuhan, kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran dan pengetahuan, kesatuan kehidupan, dan kesatuan umat manusia.




DAFTAR PUSTAKA


1.      Al-Nahlawi, Abdurrahman. 1989. Prinsip-prinsip Pendidikan Islam, Bandung: Diponegoro.

2.      Ismail SM. dkk. [ed.]. 2001. Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

3.      Jalal, ‘Abd Fatah, 1977. Minal Ushul al-Tarbawiyah fi al-Islam, Mesir: Dar al-Kutub Missriyah.

4.      Muhaimin, dkk. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung: Trigenda Karya.

5.      Arifin, Syamsul, dkk., 1996. Spiritulituasasi Islam dan Peradaban Masa Depan, Yogyakarya: Sipress.

6.      Esposito, John L., 2001, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Bandung: Mizan.

7.      Al-Attas, Syed Naquib, 1994. Konsep Pendidikan Dalam Islam, Suatu Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Haidar Baqir. cet.IV. Bandung: Mizan.

8.      ————, 1995. Islam dan Filsafat Sains, terj. Saiful Muzani, Bandung: Mizan.

————, 1978. Islam and Secularism, Kuala Lumpur: ABIM.

9.      Al-Faruqi, Ismail Raji, 1984. Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka.

10.  Ismail SM. Paradigma Pendidikan Islam, Prof. Dr. Syed Naquib al-Attas, dalam Abdul Kholiq, dkk., 1999.

11.  Pemikiran Pendidikan Islam, kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

12.  Muzani, Saiful, 1991. Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed Muhammad Naquib Al-Atta, dalam Jurnal Hikmah, No. 3 Juli-Oktober 1991.



KATA PENGANTAR


Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Semesta Alam karena atas izin dan kehendakNya jualah makalah sederhana ini dapat terselesaikan.

Shalawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan ke Baginda Alam sedunia yakni Nabi Besar Muhammad Saw, para sahabat, keluarganya dan kita selaku umatnya semoga nanti kita mendapatkan syafaat dari beliau. Amiin.

Penulisan dan pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM. Adapun yang saya bahas dalam makalah ini mengenai “PEMIKIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM MENURUT ISMAIL RAJI AL-FARUQI”.

Penyusun menyadari akan kemampuan yang masih amatir. Dalam makalah ini saya sudah berusaha semaksimal mungkin.Tapi saya yakin makalah ini masih banyak kekuranga.. Oleh karena itu saya mengharapkan saran dan juga kritik membangun agar lebih maju di masa yang akan datang.



Tasikmalaya,    Mei 2011


Penulis












DAFTAR ISI


Kata Pengantar....................................................................................................... i

Daftar isi................................................................................................................ ii


PEMIKIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISMAIL RAJI AL-FARUQI

A.    Biografi Intelektualnya.................................................................................... 1

B.     Pendidikan: Perspektif al-Faruqi................................................................ .... 2

C.     Gagasan Islamisasi Pengetahuan..................................................................... 5

D.    Karya-karya al-Faruqi...................................................................................... 8

E.     Kesimpulan...................................................................................................... 8


DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 10









M A K A L A H

PEMIKIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM MENURUT

ISMAIL RAJI AL-FARUQI

Diajukan untuk Memenuhi salah Satu Tugas Mata Kuliah

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Dosen :

Nurjanah, S.Ag. M.SI








Oleh :

ABDUR RAHMAN

II - D



INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNG

FAKULTAS TARBIYAH (PAI)

TASIKMALAYA

2011