Pada dasarnya hukum
muamalah adalah mubah (diperbolehkan) sebagaimana yang telah disepakati oleh
mayoritas ulama fiqih dalam kitab-kitab mereka dengan menetapkan sebuah kaidah
fiqhiyah yang berbunyi ‘Al-Ashlu Fil Asy-ya-i Wal A’yani Al-Ibahatu’. Kaidah
ini berlandaskan beberapa dalil syar’i, di antaranya adalah firman Allah:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا
“Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu.”
(QS. Al-Baqarah: 29)
Dan jual beli (perdagangan) adalah termasuk dalam katagori
muamalah yang dihalalkan oleh Allah, sebagaimana firman-Nya:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli.” (Q.S. Al Baqarah:
275).
Al-Hafizh Ibnu katsir dalam tafsir ayat diatas mengatakan:
“Apa-apa yang bermanfaat bagi hamba-Nya maka Allah memperbolehkannya dan
apa-apa yang memadharatkannya maka Dia melarangnya bagi mereka”.
Dari ayat ini para ulama mengambil sebuah kaidah bahwa seluruh
bentuk jual beli hukum asalnya boleh kecuali jual beli yang dilarang oleh Allah
dan Rasul-Nya. Yaitu setiap transaksi jual beli yang tidak memenuhi syarat
sahnya atau terdapat larangan dalam unsur jual-beli tersebut.
PENGERTIAN
JUAL BELI
Jual Beli bisa didefinisikan sebagai: Suatu transaksi pemindahan
pemilikan suatu barang dari satu pihak (penjual) ke pihak lain (pembeli) dengan
imbalan suatu barang lain atau uang.
Atau dengan kata lain, jual beli itu adalah ijab dan qabul,yaitu
suatu proses penyerahan dan penerimaan dalam transaksi barang atau jasa.
Islam mensyaratkan adanya saling rela antara kedua belah pihak
yang bertransaksi. Hadits riwayat Ibnu Hibban dan Ibnu Majah menjelaskan hal
tersebut:
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
“Sesungguhnya Jual Beli itu haruslah dengan saling suka sama
suka.”
Oleh karena kerelaan adalah perkara yang tersembunyi, maka
ketergantungan hukum sah tidaknya jual beli itu dilihat dari cara-cara yang
nampak (dhahir) yang menunjukkan suka sama suka, seperti adanya ucapan
penyerahan dan penerimaan.
MACAM-MACAM
JUAL BELI
Beberapa macam jual beli yang diakui Islam antara lain adalah:
1. Jual beli barang dengan uang tunai
2. Jual Beli barang dengan barang (muqayadlah/barter)
3. Jual beli uang dengan uang (Sharf)
4. Jual Utang dengan barang, yaitu jual beli Salam (penjualan
barang dengan hanya menyebutkan ciri-ciri dan sifatnya kepada pembeli dengan
uang kontan dan barangnya diserahkan kemudian)
5. Jual beli Murabahah ( Suatu penjualan barang seharga barang
tersebut ditambah keuntungan yang disepakati. Misalnya seseorang membeli barang
kemudian menjualnya kembali dengan keuntungan tertentu. Karakteristik Murabahah
adalah si penjual harus memberitahu pembeli tentang harga pembelian barang dan
menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut.”
Untuk dapat mengetahui dan memahami bentuk-bentuk transaksi jual
beli yang dilakukan oleh umumnya manusia, apakah hukumnya sah atau tidak,
penghasilan yang diperolehnya halal atau tidak, maka berikut ini kami akan sebutkan
rukun-rukun dan syarat-syarat sahnya jual beli.
RUKUN
JUAL BELI:
Jual beli memiliki 3 (tiga) rukun:
1.Al- ‘Aqid (orang yang melakukan transaksi/penjual dan
pembeli),
2. Al-‘Aqd (transaksi),
3. Al-Ma’qud ‘Alaihi ( objek transaksi mencakup barang dan
uang).
Masing-masing rukun memiliki syarat;
1. Al- ‘Aqid (penjual dan pembeli) haruslah seorang yang
merdeka, berakal (tidak gila), dan baligh atau mumayyiz (sudah dapat membedakan
baik/buruk atau najis/suci, mengerti hitungan harga).
Seorang budak apabila melakukan transaksi jual beli tidak sah
kecuali atas izin dari tuannya, karena ia dan harta yang ada di tangannya
adalah milik tuannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi: “Barangsiapa menjual
seorang budak yang memiliki harta, maka hartanya itu milik penjualnya, kecuali
jika pembeli mensyaratkan juga membeli apa yang dimiliki oleh budak itu.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Demikian pula orang gila dan anak kecil (belum baligh) tidak sah
jual-belinya, berdasarkan firman Allah:
وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ
آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta),
maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya”. (QS. An-Nisaa’: 6).
Para ulama ahli tafsir mengatakan:“Ujilah mereka supaya kalian
mengetahui kepintarannya”, dengan demikian anak-anak yang belum memiliki
kecakapan dalam melakukan transaksi tidak diperbolehkan melakukannya hingga ia
baligh. Dan di dalam ayat ini juga Allah melarang menyerahkan harta kepada
orang yang tidak bisa mengendalikan harta.
2. Penjual dan pembeli harus saling ridha dan tidak ada unsur
keterpaksaan dari pihak manapun meskipun tidak diungkapkan.
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”. (Q.S. An-Nisaa’: 29).
Rasulullah bersabda:
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
“Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan dengan suka rela.”
(HR. Ibnu Majah II/737 no. 2185 dan Ibnu Hibban no. 4967)
Maka tidak sah jual-beli orang yang dipaksa. Akan tetapi di sana
ada kondisi tertentu yang mana boleh seseorang dipaksa menjual harta miliknya,
seperti bila seseorang memiliki hutang kepada pihak lain dan sengaja tidak mau
membayarnya, maka pihak yang berwenang boleh memaksa orang tersebut untuk
menjual hartanya, lalu membayarkan hutangnya, bila dia tetap tidak mau
menjualnya maka dia boleh melaporkan kepada pihak yang berwenang agar
menyelesaikan kasusnya atau memberikan hukuman kepadanya (bisa dengan penjara
atau selainnya). Nabi bersabda: “Orang kaya yang sengaja menunda-nunda
pembayaran hutangnya telah berbuat zhalim. Maka dia berhak diberikan sanksi.”
(HR. Abu Daud)
Masalah:
Hukum membeli barang dengan harga miring dari seseorang yang butuh uang tunai karena
kepepet (terpaksa)
Dalam masalah ini ada tiga pendapat para ulama fiqih, tetapi
pendapat yang rojih (terkuat) ialah yang mengatakan dibolehkan dan bahkan
dianjurkannya jual beli seperti ini dalam rangka membantu saudara seiman yang
membutuhkan uang tunai secepatnya. Juga dikarenakan tidak terdapat unsur
keterpaksaan, karena orang ini akan menjual barangnya kepada siapapun dengan
harga miring. Namun sebagian ulama dalam mazhab hanbali memakruhkan membeli
barang tersebut meskipun transaksinya sah.
Adapun hadits yang berbunyi:
نَهَى النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْمُضْطَرِّ
“Bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang membeli barang
dari orang yang sedang kepepet”, adalah hadits dho’if (lemah), diriwayatkan
oleh Abu Daud no. 3384. (lihat Shohih Fiqhis Sunnah IV/271)
3. Al-‘Aqdu (transaksi/ijab-qabul) dari penjual dan pembeli.
Ijab (penawaran) yaitu si penjual mengatakan, “saya jual barang
ini dengan harga sekian”. Dan Qabul (penerimaan) yaitu si pembeli mengatakan,
“saya terima atau saya beli”.
Di dalam hal ini ada dua pendapat:
Pendapat
pertama: Mayoritas ulama dalam mazhab Syafi’i mensyaratkan mengucapkan
lafaz ijab-qabul dalam setiap bentuk jual-beli, maka tidak sah jual-beli yang
dilakukan tanpa mengucapkan lafaz “saya jual… dan saya beli…”.
Pendapat
kedua: Tidak
mensyaratkan mengucapkan lafaz ijab-qabul dalam setiap bentuk jual-beli. Bahkan
imam Nawawi -pemuka ulama dalam mazhab Syafi’i- melemahkan pendapat pertama dan
memilih pendapat yang tidak mensyaratkan ijab-qabul dalam aqad jual beli yang
merupakan mazhab maliki dan hanbali. (lihat. Raudhatuthalibin 3/5).
Dalil pendapat kedua sangat kuat, karena Allah dalam surat
An-Nisa’ hanya mensyaratkan saling ridha antara penjual dan pembeli dan tidak
mensyaratkan mengucapkan lafaz ijab-qabul. Dan saling ridha antara penjual dan
pembeli sebagaimana diketahui dengan lafaz ijab-qabul juga dapat diketahui
dengan adanya qarinah (perbuatan seseorang dengan mengambil barang lalu
membayarnya tanpa ada ucapan apa-apa dari kedua belah pihak). Dan tidak ada
riwayat dari nabi atau para sahabat yang menjelaskan lafaz ijab-qabul, andaikan
lafaz tersebut merupakan syarat tentulah akan diriwayatkan. (lihat. Kifayatul
akhyar hal.283, Al Mumti’ 8/106).
Imam Baijuri –seorang ulama dalam mazhab Syafi’i- berkata,
“mengikuti pendapat yang mengatakan lafaz ijab-qabul tidak wajib sangat baik,
agar tidak berdosa orang yang tidak mengucapkannya… malah orang yang
mengucapkan lafaz ijab-qabul saat berjual beli akan ditertawakan…” (lihat.
Hasyiyah Ibnu Qasim 1/507).
Dengan demikian boleh membeli barang dengan meletakkan uang pada
mesin lalu barangnya keluar dan diambil atau mengambil barang dari rak di super
market dan membayar di kasir tanpa ada lafaz ijab-qabul. Wallahu a’lam.
3. Al-Ma’qud ‘Alaihi ( objek transaksi mencakup barang dan uang
).
Al-Ma’qud ‘Alaihi memiliki beberapa syarat:
A.Barang yang diperjual-belikan memiliki manfaat yang dibenarkan
syariat, bukan najis dan bukan benda yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَىْءٍ حَرَّمَ
عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ
“Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan atas suatu kaum untuk
memakan sesuatu, maka Dia pasti mengharamkan harganya”. (HR. Abu Dawud dan
Baihaqi dengan sanad shahih)
Oleh karena itu tidak halal uang hasil penjualan barang-barang
haram sebagai berikut: Minuman keras dengan berbagai macam jenisnya, bangkai,
babi, anjing dan patung. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ
وَالْخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamer,
bangkai, babi dan patung”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadist yang lain riwayat Ibnu Mas’ud beliau berkata:
“Sesungguhnya Nabi Saw melarang (makan) harga anjing, bayaran
pelacur dan hasil perdukunan”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Termasuk dalam barang-barang yang haram diperjual-belikan ialah
Kaset atau VCD musik dan porno. Maka uang hasil keuntungan menjual barang ini
tidak halal dan tentunya tidak berkah, karena musik telah diharamkan Allah dan
rasul-Nya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ
وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
“Akan ada diantara umatku sekelompok orang yang menghalalkan
zina, sutera, khamr dan alat musik”. (HR. Bukhari no.5590)
B. Barang yang dijual harus barang yang telah dimilikinya. Dan
kepemilikan sebuah barang dari hasil pembelian sebuah barang menjadi sempurna
dengan terjadinya transaksi dan serah-terima.
Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, dia bertanya kepada Nabi
shallallahu alaihi wasallam tentang seseorang yang datang ke tokonya untuk
membeli suatu barang, kebetulan barang tersebut sedang tidak ada di tokonya,
kemudian dia mengambil uang orang tersebut dan membeli barang yang diinginkan
dari toko lain, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab:
لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“jangan engkau jual barang yang tidak engkau miliki!” (HR. Abu
Daud II/305 no.3503)
Dan tidak boleh hukumnya menjual barang yang telah dibeli namun
belum terjadi serah-terima barang.
Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, ia berkata, “aku bertanya
kepada rasulullah, jual-beli apakah yang diharamkan dan yang dihalalkan? Beliau
bersabda, “hai keponakanku! Bila engkau membeli barang jangan dijual sebelum
terjadi serah terima”. (HR. Ahmad)
C. Barang yang dijual bisa diserahkan kepada sipembeli,
maka tidak sah menjual mobil, motor atau handphone miliknya yang
dicuri oleh orang lain dan belum kembali. Demikian tidak sah menjual burung di
udara atau ikan di kolam yang belum di tangkap, hal ini sebagaimana sabda Nabi
shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan Abu Said, ia berkata:
“Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang membeli hamba sahaya
yang kabur”. (HR.Ahmad)
D. Barang yang diperjual-belikan dan harganya harus diketahui
oleh pembeli dan penjual.
Barang bisa diketahui dengan cara melihat fisiknya, atau
mendengar penjelasan dari si penjual, kecuali untuk barang yang bila dibuka
bungkusnya akan menjadi rusak seperti; telur, kelapa, durian, semangka dan
selainnya. Maka sah jual beli tanpa melihat isinya dan si pembeli tidak berhak
mengembalikan barang yang dibelinya seandainya didapati isi rusak kecuali dia
mensyaratkan di saat akad jual-beli akan mengembalikan barang tersebut bilamana
isinya rusak atau si penjual bermaksud menipu si pembeli dengan cara membuka
sebuah semangka yang bagus, atau jeruk yang manis rasanya dan memajangnya
sebagai contoh padahal dia tahu bahwa sebagian besar semangka dan jeruk yang
dimilikinya bukan dari jenis contoh yang dipajang. Maka ini termasuk jual-beli
gharar (penipuan) yang diharamkan syariat. Karena nabi shallallahu alaihi wa
sallam melarang jual beli yang mengandung unsur gharar (ketidak jelasan/penipuan).
(HR. Muslim)
Adapun harga barang bisa diketahui dengan cara menanyakan
langsung kepada si penjual atau dengan melihat harga yang tertera pada barang,
kecuali bila harga yang ditulis pada barang tersebut direkayasa dan bukan harga
sesungguhnya, ini juga termasuk jual-beli gharar (penipuan). wallahu a’lamu
bish-showab.
Demikianlah penjelasan singkat tentang rukun dan syarat sahnya
jual beli. Semoga dapat difahami dan bermanfaat bagi kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar