Senin, 28 Maret 2011

PENGUMUMAN KANGGO ANU KULIAH DI IAIC

http://www.facebook.com/home.php#!/photo.php?fbid=210572825636154&set=a.137949849565119.23803.100000503148627&theater




Minggu, 27 Maret 2011

Pengertian dan Pengembangan Silabus

PENGERTIAN SILABUS DAN PENGEMBANGANNYA

PENGEMBANGAN SILABUS
A. Pengertian Silabus

Istilah silabus dapat didefinisikan sebagai “Garis besar, ringkasan, ikhtisar, atau pokok-pokok isi atau materi pelajaran” (Salim, 1987: 98).

Istilah silabus digunakan untuk menyebut suatu produk pengembangan kurikulum berupa penjabaran lebih lanjut dari SK dan KD yang ingin dicapai, dan materi pokok serta uraian materi yang perlu dipelajari peserta didik dalam rangka mencapai SK dan KD. Seperti diketahui, dalam pengembangan kurikulum dan pembelajaran, terlebih dahulu perlu ditentukan SK yang berisikan kebulatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang ingin dicapai, materi yang harus dipelajari, pengalaman belajar yang harus dilakukan, dan sistem evaluasi untuk mengetahui pencapaian SK.

Dengan kata lain, pengembangan kurikulum dan pembelajaran menjawab pertanyaan (1) Apa yang akan diajarkan (SK, KD, dan Materi Pembelajaran); (2) Bagaimana cara melaksanakan kegiatan pembelajaran, metode, media); (3) Bagaimana dapat diketahui bahwa SK dan KD telah tercapai (indikator dan penilaian).

silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup SK, KD, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar.

silabus bermanfaat sebagai pedoman dalam pengembangan pembelajaran lebih lanjut, seperti pembuatan rencana pembelajaran, pengelolaan kegiatan pembelajaran, dan pengembangan sistem penilaian. Silabus merupakan sumber pokok dalam penyusunan rencana pembelajaran, baik rencana pembelajaran untuk satu SK maupun satu KD. Silabus juga bermanfaat sebagai pedoman untuk merencanakan pengelolaan kegiatan pembelajaran, misalnya kegiatan belajar secara klasikal, kelompok kecil, atau pembelajaran secara individual. Demikian pula, silabus sangat bermanfaat untuk mengembangkan sistem penilaian. Dalam pelaksanaan pembelajaran berbasis kompetensi sistem penilaian selalu mengacu pada SK, KD, dan indikator yang terdapat di dalam silabus.

B. Prinsip Pengembangan Silabus

Untuk memperoleh silabus yang baik, dalam penyusunan silabus perlu memperhatikan prinsip-prinsip berikut:

1. Ilmiah

Keseluruhan materi dan kegiatan yang menjadi muatan dalam silabus harus benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Di samping itu, strategi pembelajaran yang dirancang dalam silabus perlu memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran dan teori belajar.

2. Relevan

Cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran dan urutan penyajian materi dalam silabus harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan fisik, intelektual, sosial, emosional, dan spritual peserta didik. Prinsip ini mendasari pengembangan silabus, baik dalam pemilihan materi pembelajaran, strategi dan pendekatan dalam kegiatan pembelajaran, penetapan waktu, strategi penilaian maupun dalam mempertimbangkan kebutuhan media dan alat pembelajaran. Kesesuaian antara isi dan pendekatan pembelajaran yang tercermin dalam materi pembelajaran dan kegiatan pembelajaran pada silabus dengan tingkat perkembangan peserta didik akan mempengaruhi kebermaknaan pembelajaran.

3. Sistematis

Komponen-komponen silabus saling berhubungan secara fungsional dalam mencapai kompetensi. SK dan KD merupakan acuan utama dalam pengembangan silabus. Dari kedua komponen ini, ditentukan indikator pencapaian, dipilih materi pembelajaran yang diperlukan, strategi pembelajaran yang sesuai, kebutuhan waktu dan media, serta teknik dan instrumen penilaian yang tepat untuk mengetahui pencapaian kompetensi tersebut.

4. Konsisten

Adanya hubungan yang konsisten (ajeg, taat asas) antara KD, indikator, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, sumber belajar, serta teknik dan instrumen penilaian. Dengan prinsip konsistensi ini, pemilihan materi pembelajaran, penetapan strategi dan pendekatan dalam kegiatan pembelajaran, penggunaan sumber dan media pembelajaran, serta penetapan teknik dan penyusunan instrumen penilaian semata-mata diarahkan pada pencapaian KD dalam rangka pencapaian SK.

5. Memadai

Cakupan indikator, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, sumber belajar, dan sistem penilaian cukup untuk menunjang pencapaian KD. Dengan prinsip ini, maka tuntutan kompetensi harus dapat terpenuhi dengan pengembangan materi pembelajaran dan kegiatan pembelajaran yang dikembangkan. Sebagai contoh, jika SK dan KD menuntut kemampuan menganalisis suatu obyek belajar, maka indikator pencapaian kompetensi, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan teknik serta instrumen penilaian harus secara memadai mendukung kemampuan untuk menganalisis.

6. Aktual dan Kontekstual

Cakupan indikator, materi pembelajaran, pengalaman belajar, sumber belajar, dan sistem penilaian memperhatikan perkembangan ilmu, teknologi, dan seni mutakhir dalam kehidupan nyata, dan peristiwa yang terjadi. Banyak fenomena dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan materi dan dapat mendukung kemudahan dalam menguasai kompetensi perlu dimanfaatkan dalam pengembangan pembelajaran. Di samping itu, penggunaan media dan sumber belajar berbasis teknologi informasi, seperti komputer dan internet perlu dioptimalkan, tidak hanya untuk pencapaian kompetensi, melainkan juga untuk menanamkan kebiasaan mencari informasi yang lebih luas kepada peserta didik.

7. Fleksibel

Keseluruhan komponen silabus dapat mengakomodasi keragaman peserta didik, pendidik, serta dinamika perubahan yang terjadi di sekolah dan kebutuhan masyarakat. Fleksibilitas silabus ini memungkinkan pengembangan dan penyesuaian silabus dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat.

8. Menyeluruh

Komponen silabus mencakup keseluruhan ranah kompetensi, baik kognitif, afektif, maupun psikomotor. Prinsip ini hendaknya dipertimbangkan, baik dalam mengembangkan materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, maupun penilaiannya. Kegiatan pembelajaran dalam silabus perlu dirancang sedemikian rupa sehingga peserta didik memiliki keleluasaan untuk mengembangkan kemampuannya, bukan hanya kemampuan kognitif saja, melainkan juga dapat mempertajam kemampuan afektif dan psikomotoriknya serta dapat secara optimal melatih kecakapan hidup (life skill).

C. Unit Waktu Silabus

1. Silabus mata pelajaran disusun berdasarkan seluruh alokasi waktu yang disediakan untuk setiap mata pelajaran selama penyelenggaraan pendidikan di tingkat satuan pendidikan.

2. Penyusunan silabus suatu mata pelajaran memperhatikan alokasi waktu yang disediakan per semester, per tahun, dan alokasi waktu mata pelajaran lain yang sekelompok.

3. Implementasi pembelajaran per semester menggunakan penggalan silabus sesuai dengan SK dan KD untuk mata pelajaran dengan alokasi waktu yang tersedia pada struktur kurikulum.

D. Pengembangan Silabus

Pengembangan silabus dilakukan oleh kelompok guru mata pelajaran sejenis pada satu sekolah atau beberapa sekolah pada kelompok Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP).

1. Disusun secara mandiri oleh kelompok guru mata pelajaran sejenis pada setiap sekolah apabila guru-guru di sekolah yang bersangkutan mampu mengenali karakteristik peserta didik, kondisi sekolah/ madrasah dan lingkungannya.

2. Sekolah/madrasah yang belum mampu mengembangkan silabus secara mandiri, sebaiknya bergabung dengan sekolah/madrasah lain melalui forum MGMP untuk bersama-sama mengembangkan silabus yang akan digunakan oleh sekolah-sekolah/madrasah-madrasah dalam lingkup MGMP setempat. Dapat pula mengadaptasi atau mengadopsi contoh model yang dikeluarkan oleh BSNP.

E. Komponen Silabus

Silabus merupakan salah satu bentuk penjabaran kurikulum. Produk pengembangan kurikulum ini memuat pokok-pokok pikiran yang memberikan rambu-rambu dalam menjawab tiga pertanyaan mendasar dalam pembelajaran, yakni (1) kompetensi apa yang hendak dikuasai peserta didik, (2) bagaimana memfasilitasi peserta didik untuk menguasai kompetensi itu, dan (3) bagaimana mengetahui tingkat pencapaian kompetensi oleh peserta didik. Dari sini jelas bahwa silabus memuat pokok-pokok kompetensi dan materi, pokok-pokok strategi pembelajaran dan pokok-pokok penilaian.

Pertanyaan mengenai kompetensi yang hendaknya dikuasai peserta didik dapat terjawab dengan menampilkan secara sistematis, mulai dari SK, KD dan indikator pencapaian kompetensi serta hasil identifikasi materi pembelajaran yang digunakan. Pertanyaan mengenai bagaimana memfasilitasi peserta didik agar mencapai kompetensi, dijabarkan dengan mengungkapkan strategi, pendekatan dan metode yang akan dikembangkan dalam kegiatan pembelajaran. Pertanyaan mengenai bagaimana mengetahui ketercaiapan kompetensi dapat dijawab dengan menjabarkan teknik dan instrumen penilaian. Di samping itu, perlu pila diidentifikasi ketersediaan sumber belajar sebagai pendukung pencapaian kompetensi.

Berikut disajikan ikhtisar tentang komponen pokok dari silabus yang lazim digunakan:

1. Komponen yang berkaitan dengan kompetensi yang hendak dikuasai, meliputi :

a. SK

b. KD

c. Indikator

d. Materi Pembelajaran

2. Komponen yang berkaitan dengan cara menguasai kompetensi, memuat pokok pokok kegiatan dalam pembelajaran.

3. Komponen yang berkaitan dengan cara mengetahui pencapaian kompetensi, mencakup

a. Teknik Penilaian :

Jenis Penilaian

Bentuk Penilaian

b. Instumen Penilaian

4. Komponen Pendukung, terdiri dari :

a. Alokasi waktu

b. Sumber belajar.

LANGKAH-LANGKAH PENGEMBANGAN SILABUS

A. Mengkaji Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar

Mengkaji SK dan KD mata pelajaran sebagaimana tercantum pada SI, dengan memperhatikan hal-hal berikut:

1. urutan berdasarkan hierarki konsep disiplin ilmu dan/atau tingkat kesulitan materi, tidak harus selalu sesuai dengan urutan yang ada di SI dalam tingkat;

2. keterkaitan antara SK dan KD dalam mata pelajaran;

3. keterkaitan antar KD pada mata pelajaran;

4. keterkaitan antara SK dan KD antar mata pelajaran.

B. Mengidentifikasi Materi Pembelajaran

Mengidentifikasi materi pembelajaran yang menunjang pencapaian KD dengan mempertimbangkan:

1. potensi peserta didik;

2. karakteristik mata pelajaran;

3. relevansi dengan karakteristik daerah;

4. tingkat perkembangan fisik, intelektual, emosional, sosial dan spritual peserta didik;

5. kebermanfaatan bagi peserta didik;

6. struktur keilmuan;

7. aktualitas, kedalaman, dan keluasan materi pembelajaran;

8. relevansi dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan lingkungan; dan

9. alokasi waktu.

C. Melakukan Pemetaan Kompetensi

1. mengidentifikasi SK, KD dan materi pembelajaran

2. Mengelompokkan SK, KD dan materi pembelajaran

3. Menyusun SK, KD sesuai dengan keterkaitan

D. Mengembangkan Kegiatan Pembelajaran


Kegiatan pembelajaran dirancang untuk memberikan pengalaman belajar yang melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antarpeserta didik, peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya dalam rangka pencapaian KD. Pengalaman belajar yang dimaksud dapat terwujud melalui penggunaan pendekatan pembelajaran yang bervariasi dan berpusat pada peserta didik. Pengalaman belajar memuat kecakapan hidup yang perlu dikuasai peserta didik.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran adalah:

1. Disusun untuk memberikan bantuan kepada para pendidik (guru), agar dapat melaksanakan proses pembelajaran secara profesional.

2. Kegiatan pembelajaran memuat rangkaian kegiatan yang harus dilakukan oleh peserta didik secara berurutan untuk mencapai KD.

3. Penentuan urutan kegiatan pembelajaran harus sesuai dengan hierarki konsep materi pembelajaran.

4. Rumusan pernyataan dalam kegiatan pembelajaran minimal mengandung dua unsur penciri yang mencerminkan pengelolaan pengalaman belajar peserta didik, yaitu kegiatan peserta didik dan materi.

E. Merumuskan Indikator Pencapaian Kompetensi

Indikator merupakan penanda pencapaian KD yang ditandai oleh perubahan perilaku yang dapat diukur yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

Indikator dikembangkan sesuai dengan karakteristik peserta didik, mata pelajaran, satuan pendidikan, potensi daerah dan dirumuskan dalam kata kerja operasional yang terukur dan/atau dapat diobservasi. Indikator digunakan sebagai dasar untuk menyusun alat penilaian.

Kata Kerja Operasional (KKO) indikator dimulai dari tingkatan berpikir mudah ke sukar, sederhana ke kompleks, dekat ke jauh, dan dari konkret ke abstrak (bukan sebaliknya).

Kata kerja operasional pada KD benar-benar terwakili dan teruji akurasinya pada deskripsi yang ada di kata kerja operasional indikator.

F. Penentuan Jenis Penilaian


Penilaian pencapaian KD peserta didik dilakukan berdasarkan indikator. Penilaian dilakukan dengan menggunakan tes dan non tes dalam bentuk tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau produk, penggunaan portofolio, dan penilaian diri.

Penilaian merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan.

G. Menentukan Alokasi Waktu

Penentuan alokasi waktu pada setiap KD didasarkan pada jumlah minggu efektif dan alokasi waktu mata pelajaran per minggu dengan mempertimbangkan jumlah KD, keluasan, kedalaman, tingkat kesulitan, dan tingkat kepentingan KD. Alokasi waktu yang dicantumkan dalam silabus merupakan perkiraan waktu rerata untuk menguasai KD yang dibutuhkan oleh peserta didik yang beragam.

H. Menentukan Sumber Belajar

Sumber belajar adalah rujukan, objek dan/atau bahan yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran, yang berupa media cetak dan elektronik, nara sumber, serta lingkungan fisik, alam, sosial, dan budaya. Penulisan buku sumber harus sesuai kaidah yang berlaku dalam Bahasa Indonesia.

Penentuan sumber belajar didasarkan pada SK dan KD serta materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi.

I. Pengembangan Silabus Berkelanjutan

Untuk keperluan pelaksanaan pembelajaran di kelas, dari sebuah silabus perlu dikembangkan dan dibuat rencana pelaksanaan pembelajaran. Rencana pelaksanaan pembelajaran merupakan rancangan secara menyeluruh kegiatan pembelajaran yang harus dilakukan peserta didik. dalam kegiatan pembelajaran untuk mencapai kompetensi yang telah ditetapkan, dan strategi pembelajaran serta penilaian yang akan dilakukan oleh guru dalam proses pembekalan kompetensi peserta didik.

Guru dapat mengembangkan rencana pelaksanaan pembelajaran dan menentukan bahan ajar dalam berbagai bentuk (Lembar Kerja Siswa, Lembar Tugas Siswa, Lembar Informasi, dan lain-lain), sesuai dengan strategi pembelajaran dan penilaian yang akan digunakan.

DAFTAR PUSTAKA

Adams, Anna R. (1999). Industry Standards Based Curricu¬lum. Australian National Training Authority.

Adams, Anna R. (1995). Competency Based Training. Di¬rectorate Vocational Education, IATVEP A Project.

Abdul Gafur (1986). Disain Instruksional: Langkah Sistematis Penyusunan Pola Dasar Kegiatan Belajar Mengajar. Sala: Tiga Serangkai.

Abdul Gafur (1987). Pengaruh Strategi Urutan Penyampaian, Umpan Balik, dan Keterampilan Intelektual Terhadap Hasil Belajar Konsep. Jakarta: PAU – UT.

Abdul Gafur, dkk. (1986). Definisi Teknologi Pendidikan. Jakarta: CV Rajawali.

Abdul Gafur (1985). Media Besar Media Kecil: Alat dan Teknologi Pengajaran. Semarang: IKIP Press.

Anglin Gary J. (1991). Instructional Technology: Past, Present, and Future. Colorado: Englewood Cliffs.

Bloom et al. (1956). Taxonomy of educational objectives: the classification of educational goals. New York: McKay.

Bratton, Barry. (1991). Professional Competencies and Certifcation in the Instructional Technology Field. Colo¬rado: Englewood Cliffs, Inco.

Center for Civics Education (1997). National Standard for Civics and Government. Calabasas CA: CEC Publ.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1992). Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia Bidang Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Sekjen Debdikbud.

Dick, W. & Carey L. (1978). The Systematic Design of In¬struction. Illinois: Scott & Co. Publication.

Direktorat Pendidikan Menengah Umum (2001). Kebijakan Pendidikan Menengah Umum. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum.

Edwards, H. Cliford, et.all (1988). Planning, Teaching, and Evaluating: A Competency Approach. Chicago: Nelson-Hall.

Gronlund, Norman E. (1984). Determining Accountability for Classroom Instruction. New York: Macmillan Publish¬ing Company.

Hall, Gene E & Jones, H.L. (1976). Competency-Based Edu¬cation: A process for the improvement of education. New Jersey: Englewood Cliffs, Inc.

Hall, William C. (1995). Course Planning. Adelaide: Advi¬sory Center for University, the University of Adelaide.

Hooper, R. (1975). The Curriculum. Edinburg: Oliver &Boyd: The Open University.

Joice, B, & Weil, M. (1980). Models of Teaching. New Jer¬sey: Englewood Cliffs, Publ.

Kemp, Jerold (1977). Instructional Design: A Plan for Unit and Curriculum Development. New Jersey: Sage Publi¬cation.

Kaufman, Roger A. (1992). Educational Systems Planning. New Jersey: Englewood Cliffs.

Marzano RJ & Kendal JS (1996). Designing standard-based districts, schools, and classrooms. Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development.

McAshan, H.H. (1989). Competency-Based Education and Behavioral Objectives. New Jersey: Educational Tech¬nology Publications, Engelwood Cliffs.

Oneil Jr., Harold F. (1989). Procedures for Instructional Sys¬tems Development. New York: Academic Press.

Reigeluth, Charles M. (1987) Instructional Theories in Ac¬tion: Lessons Illustrating Selected Theories and Models. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publ.

Rosset, A. (1991). A Handbook of Job Aids. San Diego: Pfeiffer Publ.

Minggu, 20 Maret 2011

carpon joko bodo

JOKO BODO

Di lembur singkur sisi gunung sisi laut jauh kaditu ka dieu, nenggang aya hiji imah leutiik tur geus reyot. Eta imah di cicingan ku hiji nini-nini jeung jajaka anu keur meujeuhna belekesenteng. Eta jajaka ngaranna Joko Bodo, dingaranan Joko Bodo ku indung na teh sabab teu bisa maca, teu bisa nulis jeung ngitung.
Ku indungna teu disakolakeun sabab boro-boro keur nyakolakeun, keur dahar sapopoe oge timana, ngandelkeun ngalaan daun jati terus dijual ka kota diteukeurkeun kana beas jeung dengeuna.
Si Joko Bodo kacida nyaheunana ka indungna teh nyakitu deui indungna kacida nyaaheunnana teu sirikna kawas nanggeuy endog beubeureumna. Sanajan ku indungna di ogo si Joko Bodo teu ngedul, henteu wangkelang ka sepuh tara ngalawan ngan hanjakal surup kana namina nyaeta Joko Bodo.
Kacarioskeun dina hiji poe Joko Bodo dipiwarang ku indungna ka kota ngajual daun jati .

Indungna    :    Joko gancang geura indit ka kota, tuh geura jual daun jati nu geus dibengkeutan.
Joko Bodo    :    Enya Ema, kuring ayeuna pisan rek indit ka kota.

Ditengahing jalan sijoko bodo papag jeung abringan karajaan, dina kareta kencana katempo hiji awewe kacida geulisna, di Joko Bodo jorojoy aya sir bogoh hoyong kawin ka eta putri.
Ku keyeungna hayang kawin ka eta putri si Joko Bodo buru-buru balik bebeja ka Indungna

Joko Bodo    :    “Ema.........Ema.........Ema..... kuring balik, kuring hayang kawiiiinnn”
Indungna    :    “aya naon Joko, ari maneh mani ngagorowokan ?”
Joko Bodo    :    “Ema, Tadi kuring kabenerang papag jeung abringan karajaan, dina kareta katempo aya hiji awewe geuliiis pisan. Jadi kuring hayang kawin jeung eta awewe.....”
Indungna    :    “Joko tapi kaayaan urang mah sakieu buktina lieuk euweuh ragap taya, saha nu bakal daekeun ka maneh....”
Joko Bodo    :    “Ema, tapi kuring keukeuh hayang kawin jeung eta awewe...”
Indungna    :    Nya ari keukeuh bae mah, jung atuh geura indit. Ku Ema dibekeulan ngan saayana.

Kacaritakeun si Joko Bodo teh indit, ditengahing jalan di sisi leuweung da puhan ka kota teh ngaliwatan leuweung, ku sabab cape si Joko Bodo ngadon eureun ngiuhan dihandapeun caringin nepika sare pules pisan. Barang si Joko Bodo lilir beunta di hareupeunana aya hiji awewe geulis pisan sig anu tibra, si Joko Bodo kacid reuwasna bari jeung atoh. Bari nyarita sorangan.

Joko Bodo    :    “lakadalah aya awewe geulis pisan teu kudu jauh-jauh neangan ieu geus aya hareupeun, ku uing arek di bawa ka ema, tangtu ema atoheun pisan”

Teu pasini deui ngan reugeungeng eta awewe teh dipangku dibawa balik, barang nepika buruan si Joko Bodo ngaworowokan ka Indungna na bakat ku atoh.

Joko Bodo    :    “ema....ema......ema........ ieu joko mulang mawa pamajikan, ngan keur sare bakat capeeun.”
Indungna    :    “aya naon joko maneh gogorowokan rareuwas”
Joko Bodo    :    “ieu joko mawa pamajikan”
Indungna    :    “Jung atuh geura sarekeun heula sinyai teh di kamar karunya bisi capeeun”

Ku si Joko Bodo gancang disarekeun dikamar bari disimbutan bari nyarita kieu

Joko Bodo    :    “hey nyai sare sing tibra, akang jeung ema arek nyangu nyadiakeun keur dahar nyai”

Geus lila eta awewe acan hudang wae, nya Indungna nitah ka si Joko

Indungna    :    “Joko Geura hudangkeun si nyai teh sina dahar heula”
Joko Bodo    :    “Enggeus ema tapi sare keneh wae.........”

Kacaritakeun geus tilu poe masih sare keneh nya Indungna jeung Joko Bodo teh panasaran ngahudangkeun ka kamar, barang nepi ka lawang panto ka ambeu bau bangke, singhoreng eta awewe teh geus maot, si Joko Bodo nanyakeun ka emana.

Joko Bodo    :    “Ema, geuningan sinyai teh bau”
Indungna    :    Enya ujang ari jelema nu bau teh eta jelema anu geus maot.
Joko Bodo    :    “Lamun geus maot kudu di kumaha......?”
Indungna    :    “Kudu di alungkeun ka laut atawa ka jurang...”
Joko Bodo    :    Oh, lamun kitu mah ku kuring urang panggul urang alungkeun ka laut atawa ka jurang.

Kacaritakeun si Joko Bodo jeung Indungna digawe deui anu sok sapopoe dipigawe, hiji mangsa keung ngariung di imah duaan bari ngobrol, indungna ujug-ujug dut....... hitut....... anu kacida bauna. Kawas bau bangke. Nya atuh si Joko Bodo teu anta parah deui ngan reungeungyeung Indungna dipangku. Indungna gogorowokan oge teu dipalire da ceuk indungna jelema geus bau eta geus paeh, terus dialungkeun ka laut atawa ka jurang.
Tinggal manehna di imah teh sorangan kacida sedihna, keur ngahuleung kitu teu karasa manehna teh hitu..... tut.... hitutna ka ambeu bau kawas bangke. Teu antaparah deui nga berebet maneh na lumpat ngagebruskeun maneh ka laut ka jungkrang nepika maot.

DASAR DI Joko Bodo,....... BODO TEH KA TOTO LOYO....!!!!!!
      
      
      

Senin, 14 Maret 2011

HADITS MUTAWATIR DAN AHAD

HADITS AHAD DAN HADITS MUTAWATIR
Sebuah Catatan Atas Sebuah Penjelasan

Pendahuluan
Ilmu hadits adalah ilmu yang sangat mulia dalam Islam. Orang-orang yang bergelut di dalamnya telah menyandang keharuman tersendiri dalam sejarah. Sebutlah misal seperti : Malik bin Anas, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Al-Auza’I, Ali bin Al-Madini, Yahya bin Ma’in, Ibnul-Mubarak, Al-Bukhari, Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, An-Nawawi, Ibnu Hajar, Ibnu Katsir, Ibnu Taimiyyah, Ibnul-Qayyim, Ibnu Rajab, Asy-Syaukani, Al-Mubarakfury, Ahmad Syakir, dan lainnya yang tetap berlanjut sampai saat ini. Merekalah Ashhaabul-Hadits (para ahli hadits). Dan merekalah orang-orang yang mendapatkan pengakuan bahwa sebagai penghulu/pemimpin Al-Firqatun-Najiyyah (Golongan yang Selamat). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم وآله وسلم تفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة كلهم في النار إلا واحدة قالوا وما هي تلك الفرقة قال ما أنا عليه اليوم وأصحابي. وفي لفظ : وهي الجماعة
Dari Anas bin Malik ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Akan terpecah umat ini menjadi tujuhpuluh tiga kelompok yang kesemuanya masuk neraka kecuali satu”. Para shahabat bertanya : “Siapa mereka wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Mereka adalah orang-orang yang kondisinya seperti kondisiku dan para shahabatku di hari ini”.  [HR. Ath-Thabarani dalam Ash-Shaghiir no. 724]. Dalam lain riwayat beiau besabda : “Dan ia adalah Al-Jama’ah” [HR. Abu Dawud no. 4597, Ahmad 4/102 no. 16979 dari shahabat Mu’awiyyah bin Abi Sufyan].
Satu golongan/kelompok itulah Al-Firqatun-Najiyyah (sebagaimana disebut oleh banyak ulama). Syaikh Abdul-Qadir Al-Jailani berkata dalam kitab Al-Ghunyah : { أما الفرقة الناجية فهي أهل السنة و الجماعة ، و أهل السنة لا اسم لهم إلا اسم واحد و هو أصحاب الحديث } “Adapun golongan yang selamat yaitu Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Dan Ahlus-Sunnah, tidak ada nama lain bagi mereka kecuali satu nama, yaitu Ashhaabul-Hadiits (para Ahli-Hadits)”  .
Ashhaabul-Hadits disebut juga Ath-Thaifah Al-Manshurah, yaitu kelompok yang mendapatkan pertolongan (dari Allah) dalam menegakkan al-haq sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق لا يضرهم من خذلهم حتى يأتي أمر الله وهم كذلك
“Akan selalu ada sekelompok dari umatku yang memperjuangkan al-haq, tidak membahayakan mereka orang yang menghinakan mereka hingga datang keputusan Allah (yaitu datangnya hari kiamat) dan mereka tetap dalam keadaan seperti itu” [HR. Muslim no. 1920].
Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya tentang hadits di atas beliau menjawab : { ان لم تكن هذه الطائفة المنصورة أصحاب الحديث فلا أدري من هم } “Apabila kelompok yang mendapatkan pertolongan itu bukanlah Ashhaabul-Hadits, maka aku tidak tahu siapakah mereka…” [Ma’rifatu ‘Ulumil-Hadiits oleh Al-Hakim An-Naisaburi hal. 1 dengan sanad shahih]  .
Ashhaabul-Hadits adalah orang-orang yang paling mengerti maksud dan pengamalan sunnah-sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dan mereka lah orang yang telah menghabiskan waktu dan usianya untuk mempelajari hadits-hadits, memilah antara yang shahih dan yang dla’if, serta kemudian memberikan penjelasan kandungannya..
Bila kemudian ada permasalahan yang berkaitan dengan hadits dan sunnah Nabi, tentu Ashhaabul-Hadits (para ahli hadits) lah   yang paling mengetahui. Bukan selainnya, seperti dari kalangan ahlul-kalam, ahlul-ushul, dan yang semisal. Imam Ibnul-Qayyim mengatakan :
وكذلك لا يعتبر في الإجماع على صدق الحديث وعدم صدقه إلا أهل العلم بالحديث وطرقه وعلله ، وهم علماء الحديث ، العالمون بأحوال نبيهم ، الضابطون لأقواله وأفعاله ، المعتنون بها أشد من عناية المقلدين لأقوال متبوعيهم ، فكما أن العلم بالتواتر ينقسم إلى عام وخاص ، فيتواتر عند الخاصة ما لا يكون معلوماً لغيرهم ، فضلاً أن يتواتر عندهم ، فأهل الحديث لشدة عنايتهم بسنة نبيهم ، وضبطهم لأقواله وأفعاله وأحواله يعلمون من ذلك علماً لا يشكون فيه مما لا شعور لغيرهم به البتة
“….Demikian pula dalam perkara yang berkaitan dengan membenarkan sebuah hadits atau tidak, mesti disepakati oleh para ahli hadits yang lebih memahami jalur periwayatan dan ‘illat-nya. Mereka itu adalah ulama hadits, karena mereka mengetahui keadaan nabi mereka, yang senantiasa memelihara sabda-sabda dan perbuatan-perbuatan beliau, dan memiliki perhatian lebih terhadap periwayatan dibandingkan mereka yang masih bertaqlid pada perkataan-perkataan yang mereka ikuti. Sebagaimana ilmu pengetahuan itu dibagi menjadi dua bagian, yaitu ilmu khusus dan ilmu umum. Maka ada ilmu yang diyakini oleh orang khusus dimana tidak diketahui oleh orang lain, apalagi diyakini. Dan Ahlul-Hadits dengan perhatian mereka yang lebih kepada sunnah Nabi mereka, pemeliharaan mereka atas sabda-sabda dan perbuatan-perbuatan beliau; mereka mengetahui permasalahan ini dan tidak meragukannya. (Dan tentu mereka sangat berbeda) dibandingkan orang-orang selain mereka yang tidak mempunyai perasaan perhatian kepada sunnah Nabi sebagaimana mereka” [Mukhtashar Ash-Shawaaiqul-Mursalah juz 2 hal. 373 melalui perantara kitab Al-Hadits Hujjatun binafsihi fil-‘Aqaaid wal-Ahkaam hal. 70-71; Maktabah Sahab].
Hadits Ahad dan Hadits Mutawatir
Pembagian hadits mutawatir dan hadits ahad – dalam ilmu hadits – adalah berkaitan dengan hadits dilihat dari segi sampainya kepada kita. )  ) Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawaatur yang artinya berurutan. Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah “apa yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad”. Atau : “hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan semacamnya”.  Ada empat syarat satu hadits dikatakan mutawatir :
1.    Diriwayatkan oleh jumlah yang banyak.
2.    Jumlah yang banyak ini berada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad.
3.    Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka bersekongkol/bersepakat untuk dusta
4.    Sandaran hadits mereka dengan menggunakan indera seperti perkataan mereka : kami telah mendengar, atau kami telah melihat, atau kami telah menyentuh, atau yang seperti itu. Adapun jika sandaran mereka dengan menggunakan akal, maka tidak dapat dikatakan sebagai hadits mutawatir.
Menurut jumhur ulama, tidak ada batasan tertentu dalam jumlah perawi sehingga satu hadits dikatakan mutawatir. Bisa dikatakan, sifat kemutawatiran itu nisbi yang berbeda antara satu ulama dengan ulama lainnya. Namun itu bukanlah menjadi satu permasalahan yang berarti bagi ulama Ahli Hadits karena yang terpenting bagi mereka adalah keshahihan dari riwayat. Hadits mutawatir ini dibagi menjadi dua, yaitu :
1.    Mutawatir Lafdhy adalah apabila lafadh dan maknannya mutawatir. Misalnya hadits : {من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار} ”Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam) maka dia akan mendapatkan tempat duduknya dari api neraka”. Hadits ini telah diriwayatkan lebih dari 70 orang shahabat, dan diantara mereka termasuk 10 orang yang dijamin masuk surga.
2.    Mutawatir Ma’nawy adalah maknannya yang mutawatir sedangkan lafadhnya tidak. Misalnya, hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits ini telah diriwayatkan dari Nabi sekitar 100 macam hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo’a.  Dan setiap hadits tersebut berbeda kasusnya dari hadits yang lain. Sedangkan setiap kasus belum mencapai derajat mutawatir. Namun bisa menjadi mutawatir karena adanya beberapa jalan dan persamaan antara hadits-hadits tersebut, yaitu tentang mengangkat tangan ketika berdo’a. [lihat Mabaahits fii ‘Uluumil-Hadiits oleh Manna’ Al-Qaththan, Maktabah Wahbah, Cet. 4].
Ahad menurut bahasa mempunyai arti “satu”.  Dan khabarul-wahid adalah khabar yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan Hadits Ahad menurut istilah adalah “hadits yang belum memenuhi syarat-syarat mutawatir”.  Hadits ahad terbagi menjadi 3 macam, yaitu : Masyhur, ‘Aziz, dan Gharib.
Masyhur (atau juga dikenal dengan nama hadits Mustafidh) menurut bahasa adalah “nampak”. Sedangkan menurut istilah, Hadits Masyhur adalah : “Hadits yang diriwayatkan oleh 3 (tiga) perawi atau lebih pada setiap thabaqah (tingkatan) dan belum mencapai batas mutawatir”.  Contohnya, sebuah hadits yang berbunyi : { إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من العباد ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يبق عالما اتخذ الناس رؤوسا جهالا فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا } ”Sesungguhnya Allah tidak akan mengambil ilmu dengan melepaskan dari dada seorang hamba. Akan tetapi akan melepaskan ilmu dengan mengambil para ulama. Sehingga apabila sudah tidak terdapat seorang yang alim, maka orang yang bodoh akan dijadikan sebagai pemimpin, lalu memberikan fatwa tanpa didasari ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan” (HR. Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi).
‘Aziz secara bahasa artinya : yang sedikit, yang gagah, atau yang kuat. Hadts ’Aziiz menurut istilah ilmu hadits adalah : “Suatu hadits yang diriwayatkan dengan minimal dua sanad yang berlainan rawinya”. Contohnya : Nabi shallallaahu bersabda : { لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده والناس أجمعين } ”Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu hingga aku (Nabi) lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya, serta serta seluruh manusia” (HR. Bukhari dan Muslim; dengan sanad yang tidak sama).
Gharib secara bahasa berarti yang jauh dari kerabatnya. Sedangkan Hadits Gharib secara istilah adalah : “Hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendiri”. Dan tidak dipersyaratkan periwayatan seorang perawi itu terdapat dalam setiap tingkatan (thabaqah) periwayatannya, akan tetapi cukup terdapat pada satu tingkatan atau lebih. Dan bila dalam tingkatan yang lain jumlahnya lebih dari satu, maka itu tidak mengubah statusnya (sebagai hadits gharib). Sebagian ulama’ lain menyebut hadits ini sebagai Al-Fard. Hadits gharib dibagi menjadi dua :
1.    Gharib Muthlaq, disebut juga : Al-Fardul-Muthlaq; yaitu bilamana kesendirian (gharabah) periwayatan terdapat pada asal sanad (shahabat). Misalnya hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : ”Bahwa setiap perbuatan itu bergantung pada niatnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini diriwayatkan sendiri oleh Umar bin Al-Khaththab, lalu darinya hadits ini diriwayatkan oleh Alqamah. Muhammad bin Ibrahim lalu meriwayatkannya dari Alqamah. Kemudian Yahya bin Sa’id meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim. Kemudian setelah itu, ia diriwayatkan oleh banyak perawi melalui Yahya bin Sa’id.  Dalam gharib muthlaq ini yang menjadi pegangan adalah apabila seorang shahabat hanya sendiri meriwayatkan sebuah hadits..
2.    Gharib Nisbi, disebut juga : Al-Fardun-Nisbi; yaitu apabila keghariban terjadi pada pertengahan sanadnya, bukan pada asal sanadnya. Maksudnya satu hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang perawi pada asal sanadnya, kemudian dari semua perawi itu hadits ini diriwayatkan oleh satu orang perawi saja yang mengambil dari para perawi tersebut. Misalnya : Hadits Malik, dari Az-Zuhri (Ibnu Syihab), dari Anas radliyallaahu ‘anhu : ”Bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam masuk kota Makkah dengan mengenakan penutup kepala di atas kepalanya” (HR. Bukhari dan Muslim).  Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Malik dari Az-Zuhri. Dinamakan dengan gharib nisbi karena kesendirian periwayatan hanya terjadi pada perawi tertentu.
Itulah garis besar penjelasan hadits dilihat dari segi sampainya kepada kita. Pembagian antara hadits mutawatir dan ahad sama sekali bukanlah masuk dalam ranah diterima atau ditolaknya satu khabar/hadits.
Antara Dlarury dan Nadhary
Telah disinggung sebelumnya bahwa pembagian hadits mutawatir dan ahad bukanlah dilihat dari segi penerimaan atau penolakannya. Para ulama Ahlul-Hadits telah sepakat bahwa diterima atau ditolaknya satu hadits berdasarkan validitas (keshahihan) hadits. Jika hadits itu shahih (atau hasan) maka diterima (maqbul), dan jika hadits itu dla’if (apalagi maudlu’/palsu dan laa ashla lahu/tidak ada asalnya) maka ditolak (mardud). Adapun hadits mutawatir merupakan bagian dari hadits maqbul; yang tidak berbeda secara makna dengan hadits shahih. Dengan demikian, dengan bahasa sederhana klasifikasi diterima atau ditolaknya suatu hadits dapat dirinci sebagai berikut :
1.    Hadits Maqbul (Diterima) : Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad Shahih (atau Hasan).
2.    Hadits Mardud (Ditolak) : Hadits Dla’if, Maudlu’, dan saudara-saudaranya.
Di sini kita tidak akan menyinggung Hadits Mardud. Kita akan fokus pada Hadits Maqbul, yang terdiri dari hadits mutawatir dan hadits ahad shahih.
Para ulama telah menjelaskan bahwa hadits mutawatir memberikan ilmu yang bersifat dlarury (aksiomatik). Maksudnya, hadits mutawatir ini mengandung ilmu yang harus diyakini yang mengharuskan kepada manusia untuk mempercayainya dengan sepenuh hati sehingga tidak perlu lagi mengkaji dan menyelidiki. Seperti pengetahuan kita akan adanya Makkah dan Madinah berada di Saudi Arabia, matahari itu panas, es itu dingin, dan lainnya; tanpa membutuhkan penelitian dan pengkajian. Maka hadits mutawatir adalah qath’i tidak perlu adanya penelitian dan penyelidikan tentang keadaan para perawinya .
Adapun hadits ahad (yang shahih), maka ia memberikan ilmu yang bersifat nadhary. Maksudnya, satu hadits ahad bisa memberikan satu ilmu setelah dilakukan pengkajian dan penelitian dengan seksama. Jika memang setelah diteliti membuktikan bahwa hadits tersebut shahih, dibawakan oleh para perawi terpercaya, dan selamat dan ‘illat (cacat tersembunyi yang menyebabkan kelemahan hadits) dan syudzudz (kejanggalan) , maka hadits tersebut adalah diterima lagi mengandung ilmu (keyakinan). Hadits ahad bisa menjadi semakin terangkat jika mempunyai penguat (qarinah) antara lain (ditulis secara ringkas) :
-    Hadits ahad tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam Shahihnya.
-    Hadits masyhur yang memiliki banyak jalur sanad yang kesemua jalur tersebut berbeda-beda dan di dalamnya tidak ada perawi-perawi yang lemah serta selamat dari illat hadits.
-    Hadits yang diriwayatkan secara berkelanjutan (musalsal) oleh para ulama hadits yang terpercaya dan teliti, sehingga hadits tersebut tidak asing lagi.
Hadits-hadits ahad yang mempunyai qarinah sebagaimana di atas, maka kedudukannya adalah kuat lagi qath’i (pasti). Al-Hafidh Ibnu Shalah berkata :
أهل الحديث كثيرا صحيح متفق عليه يطلقون ذلك ويعنون به اتفاق البخاري ومسلم لا اتفاق الأمة عليه لكن اتفاق الأئمة عليه لازم من ذلك وحاصل معه لاتفاق الأمة على تلقي ما اتفقا عليه بالقبول وهذا القسم جميعه مقطوع بصحته والعلم اليقيني النظري واقع به خلافا لقول من نفى ذلك محتجا بأنه لا يفيد في أصله إلا الظن
“Para ahli hadits sering menyebut hadits-hadits Bukhari dan Muslim dengan shahih muttafaq ‘alaih. Maksudnya adalah yang disepakati oleh keduanya saja, bukan disepakati oleh umat secara keseluruhan. Akan tetapi, kesepakatan kaum muslimin sejalan dengan kesepakatan Bukhari dan Muslim karena mereka sepakat menerima hadits-hadits yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim. Semua hadits yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim adalah qath’i keshahihannya dan mengandung ilmu yaqiny nadhary. Hal ini berbeda dengan orang yang menafikkkannya dimana mereka berhujjah bahwa hadits-hadits tersebut tidak menghasilkan sesuatu kecuali dhann ” [‘Ulumul-Hadits hal. 8-9, Maktabah Sahab].
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berkata :
والخَبَرُ المُحْتَفُّ بالقَرائِن أنواعٌ : مِنْها مَا أَخْرَجَهُ الشَّيْخانِ في صَحيحَيْهِما ممَّا لَمْ يَبْلُغْ حَدَّ المتواتِرِ، فإِنَّهُ احْتُفَّتْ بِهِ قرائِنُ ؛ منها : جَلالتُهُما في هذا الشَّأْنِ . وتَقَدُّمُهُما في تَمْييزِ الصَّحيحِ على غيرِهما . وتَلَقِّي العُلماءِ كِتابَيْهِما بالقَبُولِ ، وهذا التَّلقِّي وحدَهُ أَقوى في إِفادةِ العلمِ مِن مُجَرَّدِ كَثْرَةِ الطُّرُقِ القاصرةِ عَنِ التَّواتُرِ
“Hadits yang mengandung ilmu yaqin karena qarinah ada beberapa macam. Salah satunya apabila diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahih-nya yang tidak mencapai derajat mutawatir. Hadits ini mengandung ilmu yaqin karena : a) Kemuliaan keduanya (Bukhari dan Muslim) dalam hadits; b) Keduanya adalah orang yang terdahulu yang memisahkan hadits shahih; dan c) estu para ulama untuk menerima kedua kitabnya. Restu ini saja lebih kuat untuk menjadikan haditsnya mengandung ilmu yaqin daripada banyaknya jalan yang tidak mencapai mutawatir” [Nuzhatun-Nadhar fii Taudliihi Nukhbatil-Fikar oleh Ibnu Hajar hal. 74].
Syaikh Ahmad Syakir (1309-1377 H)   berkata : “…..bahwa hadits yang shahih bisa menjadi ilmu qath’i, baik yang ada pada dua kitab shahih atau yang lainnya. Ilmu Yaqini ini adalah ilmu nadhary burhany. Ilmu ini tidak diketahui kecuali oleh para ulama yang menyelidiki atau meneliti dengan sangat mendalam tentang ilmu hadits, yang mempunyai pengetahuan yang banyak tentang kondisi para perawi dan kelemahan-kelemahannya…” [Al-Ba’itsul-Hatsits hal. 39].
Inilah yang disebut dengan ilmu dlarury dan ilmu nadhary sebagaimana dijelaskan para ulama. Intinya, ilmu dlarury dan ilmu nadhary tidaklah berbeda dalam konsekuensi hukumnya. Dua-duanya wajib diyakini, diimani serta diamalkan; baik masalah aqidah ataupun hukum. Itulah madzhab salaf Ashhaabul-Hadits dari Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.
Antara ‘Ilmu Yaqin dan Dhann
Terdapat khilaf ‘ulama tentang pembahasan : “Apakah hadits ahad menghasilkan ilmu yaqini atau dhann ?”. Pembahasan ini menghasilkan khilaf yang banyak dan polemik yang panjang. Ada sebuah hasil penelitian yang dilakukan oleh Ustadz Abu Hamzah A. Hasan Bashari yang berjudul Khabar Ahad ‘indal-Ushuliyyin   di bawah bimbingan Dr. Ahmad Al-Khatm As-Sudani Al-Ushuli yang dilakukan pada tahun 1413 di Universitas Imam Muhammad bin Su’ud Jakarta (LIPIA) terkait dengan bahasan ini. Secara garis besar dijabarkan sebagai berikut :
Ada tiga pendapat mengenai masalah ini :
1.    Hadits ahad memberikan makna qath’i (pasti) dan ilmu dlarury secara mutlak, baik yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, atau yang lainnya.
Ini adalah madzhab Dawud Adh-Dhahiri (200-270 H), Husain Al-Karabisi (w. 245 H), Harits Al-Muhasibi (w. 243 H), dan Imam Malik (menurut riwayat Ibnu Khuwaiz Mindad). Dan inilah yang dipilih oleh Ibnu Hazm (384-456 H) dimana ia mengatakan {أن خبر الواحد العدل عن مثله إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم يوجب العلم والعمل معا } "Bahwasannya khabar wahid yang (dibawakan oleh perawi) ‘adil dari orang semisal sampai kepada Rasulullah shallallaahu ‘alahi wasallam mewajibkan ilmu dan ‘amal sekaligus" [Al-Ihkaam fii Ushuulil-Ahkaam oleh Ibnu Hazm ; Maktabah Al-Misykah].
2.    Hadits ahad adalah qath’i keshahihannya dan menghasilkan ilmu jika disertai qarinah-qarinah.
Adapun qarinah-qarinahnya adalah sebagaimana disebutkan di atas. Bahkan sebagian ulama lain menambahkan bahwa hadits yang shahih menurut syarat Bukhari-Muslim juga qath’i meskipun tidak dikeluarkan oleh keduanya. Ini adalah pendapat dari Abu Ishaq Asy-Syirazi (343-376 H), Abu Hamid Al-Isfirayini (344-406 H), Qadli Abu Thibb (w. 308 H) dari kalangan Syafi’iyyah; As-Sarkhasi (302-494 H) dari Hanafiyyah; Qadli Abdul-Wahhab (362-422 H) dari Malikiyyah; Abu Ya’la (380-458 H), Abu Al-Khaththab (432-510 H), Ibnu Az-Zaghuni (455-527 H) dari Hanabilah; Ibnu Furak Asy-Syafi’i; seluruh ahli hadits (terlalu banyak untuk disebutkan); dan ini merupakan madzhab salaf secara keseluruhan.
3.    Hadits ahad tidak memberikan makna qath’i , akan tetapi dhanni tsubut secara mutlak.
Ini adalah madzhab masyhur dari kelompok Syi’ah, Khawarij, dan Mu’tazillah. Lalu diikuti oleh kelompok Asy’ariyyah dan Maturidiyyah dari kalangan Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan mayoritas Malikiyyah  . Diantaranya Ar-Razi (544-606 H), Al-Ghazali (405-505 H), Al-Juwaini (w. 478 H), dan Ibn ‘Abdis-Salaam (577-660 H). Dan inilah yang dikuatkan oleh An-Nawawi (631-670 H).
Itulah garis besar perbedaan pendapat seputar pembahasan apakah hadits ahad menghasilkan ilmu yaqin atau dhann. Penyebutan khilaf di atas meliputi khilaf yang terjadi pada kalangan Ahlus-Sunah ataupun selainnya (Asy’ariyyah, Maturidiyyah, Syi’ah, Khawarij, dan Mu’tazillah).
Perbedaan pendapat di kalangan Ahlus-Sunnah dan/atau Ahli Hadits mengenai kekuatan khabar/hadits ahad dapat dikompromikan. Sebab seluruhnya – kecuali Khawarij dan Mu’tazillah – bersepakat bahwa hadits ahad wajib diamalkan. Titik perbedaannya adalah sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaukani (setelah beliau menyebutkan berbagai khilaf permasalahan di atas) :
واعلم أن الخلاف الذي ذكرناه في أول هذا البحث من إفادة خبر الآحاد الظن أو العلم مقيد بما إذا كان خبر واحد لم ينضم إليه ما يقويه ، وأما إذا انضم إليه ما يقويه أو كان مشهوراً أو مستفيضاً فلا يجري فيه الخلاف المذكور. ولا نزاع في أن خبر الواحد إذا وقع الإجماع على العمل بمقتضاه فإنه يفيد العلم لأن الإجماع عليه قد صيره من المعلوم صدقه وهكذا خبر الواحد إذا تلقته الأمة بالقبول فكانوا بين عامل به ومتأول له ومن هذا القسم أحاديث صحيحي البخاري ومسلم فإن الأمة تلقت ما فيهما بالقبول ومن لم يعمل بالبعض من ذلك فقد أوله والتأويل فرع القبول......
”Ketahuilah, perbedaan pendapat yang kami sebutkan di awal pembahasan ini, yaitu apakah hadits ahad memberikan informasi dhann atau ilmu, dibatasi dengan ketentuan jika khabar ahad ini tidak dikuatkan oleh yang lain. Adapun jika ada yang hadits menguatkannya, atau dia itu masyhur atau mustafidh, maka tidak berlaku perbedaan pendapat di dalamnya. Tidak ada perbedaan pendapat bahwa hadits ahad itu, apabila telah disepakati bulat (ijma’) untuk diamalkan sesuai dengan konsekuensinya, maka ia memberikan ilmu (keyakinan), karena ijma’ itu telah menjadikannya sebagai sesuatu yang telah dikenal kebenarannya. Begitu pula hadits ahad yang diterima oleh umat Islam, diantara mereka ada yang mengamalkan hadits itu dan ada pula yang menta’wilkannya. Yang termasuk dalam jenis hadits ini adalah hadits-hadits yang terdapat dalam dua kitab shahih – Bukhari dan Muslim – karena kaum muslimin telah sepakat menerima hadits-hadits yang tercantum dalam kedua kitab ini. Di antara mereka yang tidak mengamalkan sebagian hadits-hadits tersebut, maka mereka menta’wilkannya. Dan ta’wil adalah termasuk bentuk dari penerimaan ……” [Irsyadul-Fuhul oleh Imam Asy-Syaukani halaman 114 – Maktabah Sahab].
Kesimpulan di point ini, secara umum hadits ahad itu mempunyai karakter memberikan dhann, akan tetapi ucapan dhanniyyatul-hadits tidak bermakna lagi setelah hadis itu benar-benar dinyatakan shahih dan diterima oleh para ulama ahli hadits. Sebab syarat-syarat yang diterapkan untuk menshahihkannya dan qarinah penerimaan ulama terhadapnya telah menghilangkan seluruh makna dhann. Maka pada saat itu, hadits ahad memberikan keyakinan atau ilmu. Tetapi ilmu di sini bersifat nadhari, artinya didapat setelah penelitian oleh para ahlinya, bukan ilmu dlaruri (sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya).
Hadits Ahad Tidak Boleh Digunakan dalam Masalah ‘Aqidah ?
Sebagaimana yang telah lalu, bahwa peristilahan mutawatir dan ahad ini hanyalah sebatas pada pembahasan sampainya khabar pada kita. Tidak masuk padanya pembahasan diterima atau tidaknya satu hadits. Penerimaan satu hadits hanyalah terletak pada tingkat keshahihannya. Jika shahih maka diterima, dan jika dla’if (lemah) maka ditolak. Pembagian mutawatir dan ahad ini bermanfaat dalam pembahasan ta’arudl (pertentangan) antara satu hadits dengan hadits lain. Jika ada satu hadits yang dibawakan oleh satu orang perawi yang menyelisihi perawi lain yang lebih kuat atau lebih banyak, maka hadits itu adalah lemah. Jika perawinya merupakan perawi lemah lagi tidak tsiqah, maka haditsnya dinamakan hadits munkar. Jika perawinya adalah tsiqah, maka haditsnya dinamakan hadits syadz. Inilah yang dikenal oleh para ulama salaf ashhaabul-hadits.
Tidak ada pembedaan antara masalah aqidah dan hukum dalam penerimaan hadits ahad yang shahih. Allah telah berfirman :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. [QS. Al-Ahzaab : 36].
Kalimat amran [أَمْراً] dalam ayat di atas adalah umum yang meliputi semua perkara, baik masalah aqidah atau hukum, yang sampai pada kita melalui jalan mutawatir ataupun ahad. Hal yang sama tercermin dalam firman Allah :
وَمَآ آتَاكُمُ الرّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُواْ
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. [QS. Al-Hasyr : 7].
فَلْيَحْذَرِ الّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. [QS. An-Nur : 63].
Ayat-ayat di atas (dan juga masih banyak ayat yang lainnya) menunjukkan keumuman wajibnya menerima khabar yang berisi perintah, larangan, aqidah, hukum, dan yang lainnya. Pengkhususan atas pembedaan antara masalah aqidah dan hukum serta mutawatir dan ahad; sama sekali tidak ditunjang dengan dalil yang kuat.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus satu orang (yang dalam segi periwayatan dinamakan ahad) kepada satu negeri untuk menyampaikan masalah aqidah dan hukum sebagaimana perkataan beliau ketika mengutus Mu’adz ke negeri Yaman :
نك تأتي قوماً من أهل الكتاب، فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله ـ وفي رواية: إلى أن يوحدوا الله ـ وأني رسول الله، فإن هم أطاعوك لذلك فأخبرهم أن الله فرض عليهم خمس صلوات في كل يوم وليلة.......
“Sesungguhnya kamu mendatangi suatu kaum yang berasal dari Ahli Kitab. Maka jadikanlah awal dari apa yang kamu serukan kepada mereka adalah persaksian bahwa tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah – dalam lain riwayat : ajakan untuk mentauhidkan Allah – dan bahwasannya aku adalah Rasulullah (utusan Allah). Jika mereka mentaatimu, maka khabarkanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka lima shalat dalam sehari dan semalam…..” [Muttafaqun ‘alaih].
Hadits di atas mengandung satu pelajaran bahwa penyampaian satu khabar oleh satu orang yang terpercaya    adalah wajib untuk diterima. Khabar yang disampaikan oleh Mu’adz bin Jabal dari Nabi kepada penduduk Yaman merupakan khabar yang berisi aqidah dan hukum sekaligus. .
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata :
ولو جاز لأحد من الناس أن يقول في علم الخاصة أحمع المسلمون قديما وحديثا على تثبيت خبر الواحد والانتهاء إليه بأنه لم يعلم من فقهاء المسلمين أحد إلا وقد ثبته جاز لي ولكن أقول لم أحفظ عن فقهاء المسلمين اختلفوا في تثبيت خبر الواحد.....
“Seandainya diperbolehkan bagi seseorang awam untuk mengatakan sesuatu dalam pembahasan ilmu khusus : ‘Kaum muslimin telah bersepakat dulu dan sekarang atas tetapnya khabar wahid (hadits ahad) dan berhenti di atasnya (yaitu menjadikannya hujjah)’; dimana ia tidak mengetahui seorangpun dari fuqahaa kaum muslimin yang menetapkannya, maka hal itu diperbolehkan menurutku  .  Akan tetapi aku katakan : “Tidaklah aku menghafal dari fuqahaa kaum muslimin bahwa mereka telah berselisih pendapat dalam penetapan khabar ahad…….” [Ar-Risalah oleh Imam Asy-Syafi’i, hal. 154; Maktabah Sahab]
فلا يجوز عندي عن عالم أن يثبت خبر واحد كثيرا ويحل به ويحرم ويرد مثله إلا من جهة أن يكون عنده حديث يخالفه أو يكون ما سمع من سمع منه أوثق عنده ممن حدثه خلافه أو يكون من حدثه ليس بحافظ أو يكون متهما عنده أو يتهم من فوقه ممن حدثه أو يكون الحديث محتملا معنيين فيتأول فيذهب إلى أحدهما دون الآخر
“Menurut pandanganku, tidak boleh bagi seorang ulama untuk menetapkan banyak hadits ahad, kemudian ia menghalalkan dan mengharamkan sesuai dengannya, akan tetapi ia juga menolak hadits sepertinya (dalam beberapa hal) kecuali jika ia memiliki hadits yang bertolak belakang dengannya akan lebih kuat atau orang yang riwayatnya diambil lebih tsiqah (terpercaya) baginya dari orang yang meriwayatkan kepadanya dengan riwayat yang berbeda  , atau orang yang meriwayatkannya bukan hafidh (orang yang hafal hadits). Atau orang itu dicurigai/dituduh berdusta atau perawi yang di atasnya tertuduh (berdusta) atau karena hadits itu mengandung kemungkinan dua makna sehingga dita’wil dan salah satu maknanya diambil”. [idem].
Di sini Imam Asy-Syafi’i menetapkan bahwa hadits-hadits yang shahih harus diterima secara keseluruhan baik dalam masalah aqidah maupun hukum. Imam Asy-Syafi’i tidak membedakannya. Barangsiapa yang mengklaim bahwa beliau membedakannya, ia harus membawakan bukti.
Bahkan Ibnu ‘Abdil-Barr Al-Andalusy   telah mengisyaratkan ijma’ tentang penerimaan dan pengamalan khabar/hadits ahad dalam semua permasalahan agama (termasuk aqidah dan hukum), dimana beliau berkata :
وكلهم يدين بخبر الواحد العدل في الاعتقادات ، ويعادي ويوالي عليها ، ويجعلها شرعاً وديناً في معتقده ، على ذلك جميع أهل السنة
“….Dan semuanya berpegang kepada satu riwayat satu orang yang adil dalam hal ‘aqidah; membela, mempertahankannya, serta menjadikannya sebagai syari’at dan agama.  Seperti itu pula pendapat jama’ah Ahlus-Sunnah” [At-Tamhiid oleh Ibnu ‘Abdil-Barr 1/8].
وأجمع أهل العلم من أهل الفقه والأثر في جميع الأمصار فيما علمت على قبول خبر الواحد العدل وايجاب العمل به إذا ثبت ولم ينسخه غيره من أثر أو أجماع على هذا جميع الفقهاء في كل عصر من لدن الصحابة الى يومنا هذا الا الخوارج وطوائف من أهل البدع شرذمة لا تعد خلافا
“Telah ijma’ ahli ilmu dari ahli fiqh dan atsar di seluruh penjuru (negeri-negeri Islam) – sepanjang saya ketahui – untuk menerima hadits ahad (hadits riwayat satu orang) yang adil (shalih dan terpercaya). Begitu pula (telah ima’) untuk wajib mengamalkannya, jika ia telah shahih dan tidak dinasakh (dihapus) oleh yang lainnya, baik dari atsar atau ijma’.  Inilah prinsip seluruh fuqahaa di setiap negeri, sejak jaman shahabat hingga hari ini, kecuali Khawarij dan Ahli Bid’ah, yaitu sekelompok kecil yang (ketidaksepakatannya) tidak sebagai perbedaan pendapat” [idem 1/11].
Al-Khathib Al-Baghdadi berkata :
وعلى العمل بخبر الواحد كان كافة التابعين ومن بعدهم من الفقهاء الخالفين في سائر امصار المسلمين الى وقتنا هذا ولم يبلغنا عن أحد منهم إنكار لذلك ولا اعتراض عليه فثبت ان من دين جميعهم وجوبه إذ لو كان فيهم من كان لا يرى العمل به لنقل إلينا الخبر عنه بمذهبه فيه والله اعلم
“Para tabi’in dan generasi sesudah mereka dari kalangan fuqahaa’ telah mengambil hadits ahad sebagai hujjah sampai saat ini. Tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. Mereka mewajibkan penggunaan hadits ahad sebagai hujjah (dalam semua permasalahan syari’at). Seandainya ada di antara mereka yang mengingkarinya, niscaya akan ada riwayat yang menerangkan kepada kita akan hal tersebut dan tentang madzhab mereka” [Al-Kifayah fii ‘Ilmir-Riwayah oleh Al-Khathib Al-Baghdadi hal. 14; Maktabah Sahab].
Abul-Mudhaffar As-Sam’any Asy-Syafi’i berkata : “Sesungguhnya hadits, jika benar dari Rasulullah shallallaau ‘alaihi wasallam, diriwayatkan oleh para imam yang tsiqah (terpercaya), dan orang belakangan mereka menyandarkan kepada orang terdahulu (dari) mereka hingga kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan diterima umat; maka hadits itu mewajibkan ilmu dalam apa yang berkaitan dengan ilmu. Ini adalah perkataan kebanyakan Ahli Hadits dan orang-orang yang menekuni As-Sunnah. Dan pendapat yang mengatakan bahwa hadits ahad tidak membuahkan ilmu dengan sendirinya, dan harus diriwayatkan secara mutawatir karena ilmu yang ada padanya; adalah sesuatu yang diada-adakan oleh Qadariyyah dan Mu’tazillah yang bertujuan menolak hadits-hadits” [Risalah Al-Intishaar li-Ahlil-Hadits yang diringkas oleh As-Suyuthi dalam Shaunul-Manthiq wal-Kalam hal. 160-161].
Masih banyak nukilan para ulama Ahlus-Sunnah yang senada (untuk menerima dan mengamalkan hadits ahad dalam perkara aqidah dan hukum) baik secara manthuq maupun mafhum seperti Abu Hanifah , Malik bin Anas , Ahmad bin Hanbal  , Ibnu Hajar  , An-Nawawi  , Ibnu Katsir, Ibnu Shalah, dan yang lainnya. Dan sungguh, sebagian orang telah membuat kedustaan bahwa para ulama Ahlus-Sunnah bersepakat untuk tidak memakai hadits ahad dalam masalah aqidah dan keimanan.
Apabila mereka menganggap bahwa sebagian ulama Ahlus-Sunnah telah berpendapat bahwa hadits ahad menghasilkan dhann , padahal aqidah tidak boleh ditetapkan melalui dhann. Konsekuensinya, hadits ahad tidak bisa dipakai dalam masalah ‘aqidah.
Kita jawab : Pada hakikatnya mereka telah mengatakan apa-apa yang tidak pernah dikatakan oleh ulama Ahlus-Sunnah. Memang benar bahwa sebagian di antara mereka berpendapat bahwa hadits ahad hanya menghasilkan dhann. Namun mereka tidak pernah berpendapat bahwa hadits ahad tidak bisa digunakan dalam masalah ‘aqidah. Hal itu disebabkan karena :
a.    Kata dhann {ظَنّ} dalam bahasa Arab bisa mempunyai dua pengertian. Jika ia digunakan dalam hal yang condong pada kesalahan (marjuh), maka maknanya adalah “taksiran” dan “perkiraan”. Namun jika ditujukan pada hal yang condong pada kebenaran (rajih), maka yang dimaksud adalah ilmu dan keyakinan. Dinukil dari Al-Munawi bahwasannya ia berkata : {الظَنّ الاعتقاد الراجح  مع إحتمال النقيض ويستعل في اليقين والشك} “Dhann adalah keyakinan kuat disertai adanya kemungkinan lain yang berlawanan. Dipergunakan juga dalam arti yakin dan syakk (keraguan) [lihat Taajul-Arus 9/271]. Al-Qurthubi berkata : {الظن الشرعي الذي هو تغليب أحد الجانبين أو هو بمعنى اليقين } “Dhann menurut syara’ adalah mengutamakan salah satu dari dua hal yang berbeda, atau terkadang dipakai dengan makna yakin” [Fathul-Bari 10/481]. Ringkasnya, kata dhann bisa bermakna keraguan dan keyakinan [lihat Lisaanul-‘Arab 13/272]. Silakan juga untuk melihat penjelasan Ibnul-Atsir dalam kitab An-Nihayah fii Gharibil-Hadits 3/162-163.
b.    Terkait dengan butir a, maka sebagaimana telah dijelaskan bahwa dhann tersebut bisa diterima dan diamalkan (dalam semua perkara syari’at) jika diiringi indikasi-indikasi yang mengarah pada keyakinan. Indikasi ini terletak pada penelitian yang dilakukan pada hadits ahad. Ketika sebuah hadits dikatakan shahih, maka pengertiannya bukanlah syakk (keraguan), tapi keyakinan. Dan inilah ilmu nadhary.
c.    Allah telah memuji dhann orang-orang mukmin sebagaimana firman-Nya :
وَاسْتَعِينُواْ بِالصّبْرِ وَالصّلاَةِ وَإِنّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاّ عَلَى الْخَاشِعِينَ* الّذِينَ يَظُنّونَ أَنّهُم مّلاَقُو رَبّهِمْ وَأَنّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang mempunyai “dhann” (meyakini), bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. [QS. Al-Baqarah : 45-46].
قَالَ الّذِينَ يَظُنّونَ أَنّهُمْ مُلاَقُواْ اللّهِ كَم مّن فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةٍ كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللّهِ وَاللّهُ مَعَ الصّابِرِينَ
“Orang-orang yang mempunyai “dhann” (meyakini) bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” [QS. Al-Baqarah : 249].
وَعَلَى الثّلاَثَةِ الّذِينَ خُلّفُواْ حَتّىَ إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الأرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنفُسُهُمْ وَظَنّوَاْ أَن لاّ مَلْجَأَ مِنَ اللّهِ إِلاّ إِلَيْهِ ثُمّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوَاْ إِنّ اللّهَ هُوَ التّوّابُ الرّحِيمُ
Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka mempunyai “dhann” ( telah mengetahui) bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. [QS. At-Taubah : 118].
Dan ayat yang lainnya. Di situ menunjukkan bahwa tidak semua dhann itu adalah tercela dan tidak bisa digunakan sebagai dasar dalam syari’at. Bahkan dhann dalam ayat-ayat di atas dipakai dalam hal-hal keimanan kepada Allah.
Kesimpulan di point ini adalah bahwa : Hadits ahad merupakan hujjah dalam masalah ‘aqidah dan hukum. Pendapat yang mengatakan bahwa hadits ahad hanyalah dikhususkan dalam masalah hukum dan tidak berlaku untuk masalah aqidah adalah pendapat yang lemah dan tidak mempunyai pijakan yang kuat  , serta merupakan pendapat dari kalangan yang menyimpang dari jalan Ahlus-Sunnah (Ashhaabul-Hadiits)  . Kalaupun toh ada ulama Ahlus-Sunnah yang berpegang demikian, khilaf tersebut tidaklah mu’tabar dan tidak mempengaruhi ijma’ Ahlus-Sunnah. Janganlah kita mudah terpengaruhi oleh klaim-klaim pihak tertentu yang mengatakan bahwa permasalahan ini masih khilaf di kalangan Ahlus-Sunnah (yang dikesankan seolah-oleh merupakan khilaf mu’tabar)  .  Kalangan Ahlus-Sunnah memang berbeda pendapat mengenai hadits ahad apakah menghasilkan ilmu yaqin atau dhann (sebagaimana telah disinggung sebelumnya). Namun mereka tidak berbeda pendapat tentang penerimaan dan pengamalan hadits ahad baik dalam masalah aqidah maupun hukum  .  Dan sekali lagi, satu pembahasan hadits harus dikembalikan pada ulama hadits Ahlus-Sunnah. Bukan selainnya. Wallaahu a’lam. Abu ‘Aisyah Al-Jauzaa 1429